Syalom!

Blog ini berupaya menyajikan jurnal studi Filsafat dan Teologi
para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana - Malang.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini adalah pendapat penulis sendiri, bukan cerminan pendapat pengelola blog. Tulisan-tulisan ini adalah hasil perenungan dan kerja keras para mahasiswa, dan tidak mengandaikan isinya adalah ajaran resmi Gereja Katolik.

Friday, May 14, 2010

Menghantar Orang ke Peristirahatan Terakhir

Pengantar

Memperlakukan seseorang dengan hormat dan baik, terutama kepada orang tua dan nenek moyang yang telah berjasa, merupakan suatu keutamaan manusia yang berlaku universal. Manusia, dari bangsa mana pun, selalu mempunyai ajaran menghormati orang tua. Melalui Kitab Amsal, Allah memberi nasihat kepada bangsa Israel untuk memperhatikan ajaran mereka dan menghormati orang tua (bdk. Ams 1:8; 6:20; 23:22.25). Penghormatan kepada orang tua merupakan suatu kewajaran bagi manusia dari segala jaman. Dalam banyak kebudayaan juga ditemukan penghormatan kepada orang tua bukan hanya dijalankan sewaktu orang tua masih hidup di dunia, melainkan juga untuk orang tua yang sudah meninggal.

Bagi masyarakat Tionghua, penghormatan kepada orang tua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal sudah berusia seumur kebudayaannya itu sendiri. Ajaran-ajaran tertulis tentang penghormatan ini ditemukan dalam banyak kitab klasik, terutama dalam ajaran-ajaran Konfusius. Bagi Konfusius, inti penghormatan ini diungkapkan dengan sikap bakti kepada orang tua.


Masuk ke Dunia Lain

Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghua tidak akan hilang meskipun orang kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama. Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri.

Penghormatan kepada para leluhur bukanlah suatu sikap menyembah. Hal inilah yang kerap kali disalahmengerti oleh sebagian besar orang, bahkan oleh orang Tionghua sendiri. Konfusius, peletak dasar ajaran etika bangsa Tionghua, tidak mengajarkan penyembahan kepada leluhur, seakan-akan mereka itu setingkat dewa. Persembahan itu hanyalah sarana untuk menyatakan hormat dan penghargaan kepada leluhur/tokoh-tokoh yang berjasa dalam hidup.

Pernyataaan Konfusius bahwa “orang harus menghormati roh-roh, tetapi juga menjaga jarak dari mereka” (Lun Yu IV:20), dan dia “mempersembahkan (kepada leluhurnya) seakan-akan mereka hadir, dan memberikan persembahan kepada roh-roh seakan-akan mereka hadir” (Lun Yu III: 12), serta “bila engkau masih belum dapat menunaikan tugasmu terhadap manusia, bagaimana engkau dapat melaksanakan tugasmu terhadap roh-roh” (Lun Yu XI, 11) sering ditafsirkan sebagai ajaran untuk mempersembahkan korban atau persembahan kepada roh-roh halus atau arwah leluhur. Sesungguhnya, apa yang diajarkan oleh Konfusius adalah bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghormati baik manusia maupun roh/arwah. Persembahan merupakan sarana dan perwujudan sikap untuk tidak melupakan/melalaikan mereka.

Masyarakat Tionghua membagi dunia dalam dualisme yin-yang 阴阳. Kehidupan di dunia ini disebut dunia yang , dan kehidupan sesudah dunia ini disebut yin . Maka bila orang meninggalkan dunia ini, dia berpindah ke dimensi lain dari kehidupan. Mereka tidak mati dalam pengertian binasa, tidak ada lagi, dan tidak mempunyai hubungan dengan dunia. Hubungan antara yang hidup dan yang mati, antara dunia sini dan dunia sana, inilah yang harus dijaga keseimbangannya. Bila keseimbangan itu terganggu, roh-roh akan marah. Keseimbangan ini dijaga bukan dengan persembahan, melainkan dengan perilaku hidup moral yang baik dan benar (bdk. Yijing I: 12; bdk. Fung Yu-Lan, A History of Chinese Philosophy, Princeton University Press, New Jersey, 1973, hlm. 23-24). Sementara persembahan dan korban hanyalah sarana untuk menyatakan hubungan yang dekat ini.


Menghormati Arwah

Hubungan antara manusia dengan arwah orang tua yang sudah meninggal dilestarikan dengan pelbagai upacara. Untuk menghormati orang yang telah meninggal, upacara ini dirayakan dalam dua perayaan besar.

Qingming 清明/Chengbeng

Meskipun dasar ajaran penghormatan kepada leluhur berasal dari Konfusius, praktek penghormatan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Buddha dan Dao (Tao), terutama dalam upacara pemakaman dan persembahan. Tetapi inti dari penghormatan, yakni bakti anak kepada orang tua, tetap tidak berubah

Pada pertengahan musim semi (biasanya dirayakan pada tanggal 4 April), orang-orang pergi berziarah ke kuburan untuk membersihkan kuburan dan mempersembahkan kurban dalam bentuk makanan maupun pembakaran kertas sembahyang. Inilah yang disebut dengan hari Qingming/Chengbeng. Biasanya qingming dilihat sebagai hari di mana keluarga berkumpul bersama-sama untuk menunjukkan bakti kepada orang tua.

Perayaan Qingming ini diperkirakan berasal dari Dinasti Han, dan menjadi perayaan pada jaman Dinasti Tang. Ada dua kisah utama yang muncul dalam perkembangan perayaan ini, yaitu tentang Jie Zitui, yang dihubungkan dengan Perayaan Makanan Dingin, dan kisah tentang Zu Yuanzhang. Melihat dua kisah ini, tidak ditemukan sedikitpun unsur tahyul atau animistik dalam sembahyang terhadap orang yang meninggal, melainkan lebih menampilkan kisah kesetiaan, kepahlawanan, dan bakti kepada orang tua. Namun dalam prakteknya perayaan qingming selalu disertai dengan upacara yang bertradisi animistik, seperti dengan sembahyang makanan di depan kubur dan membakar kertas-kertas sembahyang.

Pada hari ini orang Tionghua mengunjungi makam, columbarium maupun klenteng di mana abu atau papan nama orang tua disemayamkan. Bagi mereka yang mengunjungi kuburan orang tua, ini juga merupakan saat di mana seluruh keluarga berkumpul dan membersihkan kuburan orang tua sambil menghaturkan persembahan.

Sebagai praktek yang menekankan bakti pada orang tua, perayaan qingming sebenarnya mirip dengan tradisi Gereja yang merayakan Peringatan Arwah tanggal 2 November. Yang membedakannya hanyalah soal tradisi atau perayaannya. Keduanya menampakkan hubungan yang tak terputus antara orang yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup di dunia.

Iman kristiani mengajarkan bahwa hubungan antara orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup ini terungkap dalam persekutuan para kudus. Artinya, bahwa mereka yang sudah meninggal dapat kita doakan dalam kasih Allah, terlebih bagi arwah di api penyucian. Di sisi lain, kita pun dapat memohonkan doa-doa dari mereka yang sudah berbahagia di surga untuk kita yang di dunia ini (Peringatan Semua Orang Kudus 1 November).

Tradisi Tionghua yang menekankan kepada bakti kepada orang tua dalam perayaan qingming ini bukan sesuatu yang membahayakan iman kita. Mengunjungi dan membersihkan kuburan sebagai ungkapan cinta anak kepada orang tua kiranya tidak perlu ditinggalkan hanya karena sebagian besar orang menyertainya dengan praktek non kristiani. Asalkan para pengikut Kristus mengunjungi makam dan membersihkannya tetap hidup dalam iman bahwa Kristus sudah membebaskan semua manusia dari dosa dan memberikan hidup abadi melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Persembahan apa pun (makanan, kertas sembahyang, dll) yang ditujukan tidak mempunyai arti apapun, karena persembahan itu tidak bisa menolong mereka, tidak mempunyai kuasa penyelamatan. Hanya Kristus penolong sejati. Justru orang Katolik jatuh ke dalam "penyembahan berhala" bila menganggap persembahan- persembahan itu bisa menyelamatkan dan menolong arwah. Kita tidak bisa menyelamatkan arwah-arwah yang menderita, tetapi kita bisa berdoa memohonkan rahmat dan pengampunan Tuhan bagi arwah-arwah di api penyucian agar mereka dapat segera bebas dari siksa sementara dan segera bersatu dengan Allah dalam kebahagian abadi di surga.

Zhong Yuan Jie中元节/Sembahyang Rebutan

Upacara sembahyang ini biasanya jatuh di bulan Agustus, diyakini bahwa pada bulan ini roh-roh kelaparan dilepaskan dari neraka untuk mencari makan di dunia. Cerita ini berasal dari mitos seorang rahib Buddha bernama Mu Lian yang sangat mengasihi ibunya. Setelah ibunya meninggal, Mu Lian bermimpi ibunya datang dan berkata bahwa dia lapar. Setelah terbangun, Mu Lian sangat sedih, dan mempersembahkan makanan kepada ibunya. Melalui pelbagai macam cara dan setelah mendapat petunjuk dari beberapa nasihat Buddha, dia akhirnya dapat bertemu dengan ibunya dan memberi makan.

Dasar dari upacara Zhong Yuan (中元) ini adalah kepercayaan bahwa arwah masih membutuhkan makanan dari dunia, bahkan menjadi arwah kelaparan yang bisa mencari makan di dunia orang hidup. Ajaran ini sangat tidak sesuai dengan iman kristiani. Ajaran lain mengenai pintu neraka yang terbuka, arwah-arwah kelaparan, dan apalagi mengenai memberi makan kepada arwah tidak bisa kita terima. Umat beriman seharusnya berpegang bahwa keselamatan datang dari Kristus, bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat memisahkan kita dari Kristus (Rom 8:35-39).

Upacara Pemakaman

Kremasi bukanlah hal yang lazim dalam masyarakat Tionghua, karena dibawa oleh agama Buddha dari India. Pemakaman merupakan pilihan terbaik, yang dilakukan dengan sangat serius, karena beberapa alasan ini.

1. Pemakaman dan upacara kabung merupakan wujud kelihatan dari bakti kepada orang tua.

2. Pemakaman yang tidak tepat akan membawa nasib buruk bagi keturunan yang masih hidup. Karena itu letak makam dan kapan waktu pemakaman menjadi pertimbangan bagi keluarga (memperhatikan fengshui 风水).

3. Upacara kabung dan pemakaman ditentukan oleh usia. Orang yang lebih tua tidak boleh memberikan penghormatan kepada orang yang lebih muda. Karena itu bila yang meninggal itu seorang muda yang belum menikah, jenazahnya tidak boleh dibawa pulang, dan orang tua tidak berdoa di depan jenazah anaknya.

Dari ketiga alasan ini, hanya alasan pertama yang dapat diterima umat Kristiani. Sementara alasan ke dua dan ke tiga merupakan praktek kepercayaan tahyul.

Sungguh disayangkan bahwa masih banyak orang Katolik mempraktekkan cara-cara tahyul tersebut. Bahkan buku Ibadat Melepas Jenazah dan Memperingati Arwah yang diterbitkan sebagai buku upacara resmi Gereja oleh penerbit Nusa Indah (mendapatkan imprimatur dan nihil obstat) berisi banyak ajaran yang keliru dan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Buku ibadat itu malahan menganjurkan umat membakar kertas sembahyang sebagai uang-uangan untuk memberikan sangu kepada arwah orang meninggal dan mempersembahkan semangka (hlm. 35) serta memecahkannya (hlm. 66). Praktek tersebut adalah praktek tahyul yang tidak bisa diterima iman Kristiani. Kremasi, yang sesungguhnya sebelum masuknya agama Buddha dianggap tindakan kejam terhadap jenazah orang tua, malah dikatakan memiliki nilai kesalehan, yakni bakti kepada orang tua (hlm. 54) .

Kepercayaan akan mimpi kedatangan arwah leluhur dapat menjerumuskan umat beriman kepada kepercayaan dan praktek tahyul. Apalagi bila karena mimpi iman orang menjadi terganggu sehingga mulai tergoda memberikan persembahan-persembahan kepada arwah untuk kesejahteraan arwah di dunia lain.

Pertimbangan Pastoral

Mendoakan arwah orang yang meninggal merupakan sikap yang sejalan dengan iman kristiani. Berhadapan dengan orang yang meninggal, Gereja mempercayakan seluruh pengharapannya kepada Yesus Kristus, yang adalah jalan, kebenaran dan hidup. Dengan darah-Nya yang kudus, kita telah ditebus dari kematian dan memberikan kehidupan abadi. Maka sebelum orang meninggal, Gereja membekali umatnya dengan viaticum, yaitu bekal berupa Tubuh Kristus dalam perjalanan dia menuju kepada Kristus. Setelah meninggal, arwah tidak membutuhkan makanan lain lagi, kecuali doa dan cinta kita, yang dipanjatkan kepada Allah Bapa memohon pengampunan dan belas kasih Allah.

Pelbagai praktek pemakaman, seperti melihat hari, menghitung jam, membakar kertas sembahyang dan memecahkan semangka, dan berbalik badan saat peti dimasukkan ke dalam kuburan, sangat tidak sejalan dengan iman Gereja. Karena itu hendaklah para petugas pastoral mengajak umat untuk memfokuskan perhatiannya kepada Kristus sang Penebus, bukan pada ketakutan yang tak beralasan.

Kremasi, yang saat ini cukup lazim di Indonesia, merupakan alternatif lain karena pertimbangan praktis tidak lagi ditolak oleh Gereja. Dalam hal ini abu jenazah dapat dikuburkan di tanah, atau di columbarium dengan upacara yang layak seperti pemakaman biasa dengan disertai doa-doa yang tercantum dalam buku-buku liturgis. Juga apabila dilarung di laut, dapat disertai dengan doa-doa lain yang bisa diambil dari buku-buku liturgis dengan sedikit modifikasi yang disesuaikan dengan situasi.

Orang Tionghua jaman dahulu tidak menyimpan abu jenazah di rumah, melainkan di rumah abu. Dalam perkembangan jaman, klenteng dan vihara juga menyediakan tempat penyimpanan abu ini, agar keluarga dapat memberikan penghormatan yang layak kepada arwah sanak keluarga yang sudah meninggal. Alangkah baiknya bila di columbarium yang dikelola oleh Gereja Katolik disediakan tempat untuk berdoa khusus bagi keluarga yang datang pada hari peringatan arwah atau hari qingming, atau bahkan kapel untuk Perayaan Misa dengan intensi bagi arwah orang yang meninggal.

PENUTUP

Penghormatan kepada arwah leluhur merupakan cerminan sikap bakti orang Tionghua terhadap orang tua. Sikap ini kemudian berlanjut kepada praktek-praktek yang sangat dipengaruhi oleh pandangan animistik dan tahyul masyarakat, dan berubah kepada sikap menyembah dan berdoa seperti kepada roh-roh dan berhala.

Umat Kristiani juga tidak luput dari pengaruh seperti ini, apalagi bila mendapat mimpi. Cara berpikir seperti ini rupanya masih terikat kepada kebiasaan lama yang tidak Kristiani, masih terbelenggu, diperbudak oleh kepercayaan yang sia-sia. Padahal umat kristiani sudah dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah (Roma 8:21).

Selain itu, Rasul Paulus mengajar kita untuk melihat Yesus Kristus sebagai pusat seluruh hidup dan pengenalan kita. Apakah kita mampu berkata seperti Paulus, Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus (Filipi 3:8).


KEPUSTAKAAN

1. Rm. Samuel Pangestu, Pr. & Rm. M. Kristiyanto, Pr., Ibadat Melepas Jenazah dan Memperingati Arwah, Nusa Indah, Ende, 2003.

2. Daniel Tong, A Biblical Approach to Chinese Traditions and Beliefs, Genesis Books, Singapore, 2004.

3. Goh Pei Ki & Fu Chunjiang, Origins of Chinese Festivals, Asiapac, Singapore, 2004.

4. Fung Yu-Lan, A History of Chinese Philosophy, Vol. I, Princeton University Press, New Jersey, 1973.

Tuesday, May 4, 2010

Kisah Qingming


Menurut legenda yang beredar di Indonesia (dan hanya di Indonesia) kisah qingming dihubungkan juga dengan Kaisar Zhu Yuanzhang, pendiri Dinasti Ming (1368–1644) yang menjatuhkan Dinasti Yuan (Mongol) (Marcus A.S., Hari-hari Raya Tionghua, Suara Harapan Bangsa, 2009, hlm. 128-134; James Danandjaja, Folklor Tionghua, PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, 381). Kiranya kedua buku ini keliru menempatkan peristiwa sejarah pada tokoh historis yang disebutkan. Selain itu, kisah yang dikisahkan dalam dua buku tersebut bersifat anakronitis, sebab perayaan Qingming sudah lama dilakukan sebelum Dinasti Ming, dan meetakkan kertas lima warna sudah dilakukan oleh pendiri Dinasti Han, Liubang.

Menurut buku yang ditulis oleh Marcus A.S., Kaisar Zhu Yuanzhang setelah menjadi Kaisar dengan gelar Ming Taizhu, teringat pada orang tuanya yang telah meninggal, namun tidak tahu di mana letak kuburannya. Bagaimana dia dapat berbakti kepada orang tua kalau kuburan orang tua saja tidak bisa ditemukan? Karena itu dia berusaha mencari di mana letak kuburan kedua orang tuanya, dan memerintahkan para tentaranya untuk mencari, namun tanpa hasil. Akhrinya seorang penasihatnya memberi nasihat agar memerintahkan semua rakyat pergi ke kuburan leluhur, menebarkan kertas lima warna di atas pusara leluhur. Karena itu pada hari yang ditentukan, yakni pada peringatan Jie Zitui, pada perayaan hanshi, rakyat berziarah ke kuburan. Sebelum menaburkan kertas lima warna, mereka membersihkan rumput liar terlebih dahulu. Ketika kaisar datang ke kuburan di kampong halamannya itu, ditemukanlah dua kuburan yang belum dibersihkan dan ditaburi kertas lima warna. Maka kaisar mengakui kedua kuburan itu sebagai kuburan orang tuanya.

Kisah ini rupanya merupakan jiplakan atas kisah Liu Pang, pendiri dinasti Han (206 SM-220 M), yang mencari kuburan orang tuanya. Namun karena tidak menemukannya, dia melemparkan kertas lima warna (wushiji) dengan harapan dapat membawa nasib baik.

Ternyata kertas-kertas tersebut jatuh di atas kuburan yang kemudian diyakini sebagai kuburan orang tuanya. Maka dapat dipahami kalau kertas-kertas yang ditaburkan di atas makam ini tidak memiliki maksud magis atau tahyul, namun lebih sebagai bentuk simbolis dari penandaan kuburan.

Awal mula perayaan Qingming dipercayai berasal dari Kaisar Xuanzong (685-762) dari Dinasti Tang (唐玄宗). Karena orang-orang kaya secara sangat demonstratif mengadakan upacara yang sangat mahal untuk menghormati leluhur yang meninggal, Kaisar Xuanzong melarangnya dengan mengumumkan bahwa perayaan resmi penghormatan kepada leluhur baru dilakukan pada hari Qingming.

Hal yang penting dalam Qingming ini adalah makna di balik seluruh upacara dan perayaannya. Ada kisah Jie Zitui (kepahlawanan dan kesediaan berbakti kepada raja dan orang tua), dan kisah Liubang yang selalu ingat akan orangtuanya meskipun mereka sudah meninggal. Keduanya merupakan warisan dari ajaran Konfusianisme akan bakti kepada orangtua/leluhur. Maka perayaan Qingming merupakan perayaan keluarga, tentang nilai-nilai kehidupan.

Bagi orang Tionghua, ritual atau upacara atau perayaan selalu mempunyai dimensi humanis. Upacara bukan saja selalu urusan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia. Qingming merupakan ungkapan yang sangat jelas akan hal ini. Manusia yang sudah meninggal pun (sudah menjadi arwah) pantas mendapatkan penghormatan. Apalagi penghormatan ini merupakan wujud dari relasi orangtua-anak, dalam konteks xiao 孝 sebagaimana diajarkan oleh Konfusius.

Catatan menarik tentang Qingming Jie bisa dilihat di sini:

http://www.ppsatop.com/Lain2/QingMingJie.html


PERAYAAN MAKANAN DINGIN


Selama Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770-475 SM), Raja Xian dari Kerajaan Jin 晉國 Jìn Guó sangat mencintai isterinya keduanya, Li Ji. Setelah Li Ji membunuh putra mahkota Sehensheng (申生), pangeran Cong'er (重耳) melarikan diri karena jiwanya terancam. Selama pengembaraan 19 tahun dia dikawal oleh seorang pelayan yang setia bernama Jie Zitui (介之推)

Selama persembunyian, Jie Zitui melayani Chong’er dan menyediakan masakan baginya. Pada suatu hari pangeran ini mengeluh karena selama pelarian dia tidur di tempat yang tidak nyaman, dan tidak mendapat makan yang enak. Bahkan tidak mendapat sup yang enak untuk menghangatkan badan. Selama Sembilan belas tahun dalam pelarian, dan sewaktu pangeran Chong’er hampir mati kelaparan, Jie Zitui memotong daging pahanya dan memasaknya bagi sang pangeran. Pada tahun 638 Chong’er naik tahta, dan memakai nama Wenkong dari Kerajaan Jin.

Setelah naik tahta, Wenkong memberi hadiah semua pengikutnya yang setia, tetapi melupakan Jie Zitui. Jie Zitui kecewa dan kemudian pulang ke kampong halamannya tinggal bersama ibunya. Ternyata kemudian Wenkong teringat pengorbanan Jie Zitui dan mengirimkan orang mencarinya. Namun Jie Zitui tidak mau kembali ke istana, meskipun raja sendiri yang memanggilnya. Jie Zitui lalu membawa ibunya bersembunyi di hutan di bukit Mianshan. Karena tidak menemukannya di hutan, seorang penasihat raja mengusulkan agar hutan dibakar agar Jie Zitui keluar, sehingga dapat dibujuk untuk tinggal di istana. Namun setelah hutan terbakar habis, Jie Zitui dan ibunya tidak keluar. Raja memerintahkan seluruh pengawalnya mencarinya, dan menemukan Jie Zitui sudah hangus, membungkuk melindungi ibunya yang juga sudah meninggal.

Wenkong sangat menyesali, kemudian memerintahkan kepada seluruh rakyat agar pada peringatan kematian Jie Zitui, tidak ada api yang dinyalakan di rumah-rumah untuk menghormatinya. Maka pada hari itu penduduk tidak memasak, dan memakan makanan dingin yang sudah disiapkan hari sebelumnya, serta mengunjungi makam Jie Zitui untuk memberikan penghormatan kepadanya. Perayaan hari itu disebut Perayaan Makanan Dingin (Hanshi).

Pada masa Dinasti Qing (1644-1911), perayaan ini kemudian berubah menjadi perayaan qingming sebagaimana yang dikenal sekarang untuk menghormati leluhur, dan perayaan hanshi tidak lagi menjadi yang pokok untuk mengenangkan kesetiaan dan pengorbanan Jie Zitui.

Thursday, April 29, 2010

Lilin Paskah & Lilin Injil

Candles at the Gospel Reading
ROME, APRIL 27, 2010 (Zenit.org).- Answered by Legionary of Christ Father Edward McNamara, professor of liturgy at the Regina Apostolorum university.

Q: During Easter season at the reading of the Gospel at Mass on Sundays, are the ministers dispensed from carrying lit candles to the ambo if there is an Easter candle? -- F.A., Rio de Mouro, Portugal

A: In principle, there is no such "dispensation" except during the Easter Vigil itself, because on this night the Easter candle itself suffices to honor the risen Lord in his Gospel.

The fact that the liturgical books specify that on this night Gospel candles are not used implies that they should be used on all other solemn occasions. At the same time, we recall that these candles, like incense, are recommended but not obligatory elements of the celebration of Mass and may be omitted.

During the rest of Eastertide the Easter candle and those that accompany the Gospel have different symbolic values.

The Easter candle represents the risen Christ and, while it is often placed near the ambo, this is not the only possibility. The other possibilities are at the center of the sanctuary or next to the altar. Because of this, the Easter candle is not necessarily or primarily associated with the Gospel.

The candles that accompany the Gospel are a means of honoring and emphasizing the particular centrality of the Gospel in salvation history and as the high point of the Liturgy of the Word.

As the Second Vatican Council's dogmatic constitution Dei Verbum points out, these liturgical honors also establish a certain parallel with the honors attributed to the Blessed Sacrament, which is also accompanied by lighted torches and incense. This serves to underline the particular real presence of Christ in the liturgical proclamation of the Word, though without detriment to the unique nature of the substantial real presence of the Eucharist.

Friday, March 12, 2010

Ulangan Liturgi Ext. Course STFT Widya Sasana di Univ. Darma Cendika

Berdasarkan pelajaran tentang Tahun Liturgi Gereja, dengan berpusat pada Misteri Paskah Kristus (perhatikan powerpoint 2010 01-04) buatlah paper tentang (pilih salah satu):

1. Perayaan Misa Imlek dalam Gereja (Anda boleh setuju, boleh tidak setuju).
2. Perayaan Misa Ruwatan (Anda boleh setuju, boleh tidak setuju).
3. Perayaan-perayaan inkulturasi lainnya.

Catatan:
Bapak Uskup berhak dan mempunyai kuasa untuk melarang atau mengijinkan perayaan liturgi mana pun. Maka paper bukan untuk menyalahkan atau membenarkan Bapak Uskup atau menilai keputusan Bapak Uskup tentang perayaan inkulturasi tertentu, tetapi memberi penjelasan teologis tentang perayaan tersebut dari sudut Teologi Liturgi. Tentu saja harus memperhatikan dasar liturgi.

Referensi:
Sacrosanctum Concilium (http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19631204_sacrosanctum-concilium_en.html)
Redemptoris Sacramentum (http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20040423_redemptionis-sacramentum_en.html)
Perayaan Paskah dan Persiapannya (Litterae Circulares de Festis Paschalibus Praeparandis et Celebrandis) (http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20040423_redemptionis-sacramentum_en.html)
Jawa Pos 14 Februari 2010 Hlm 34: Monsinyur yang Larang Misa Imlek
Bahan-bahan lain (dokumen-dokumen Gereja) dapat dicari di internet.

LETTER OF HIS HOLINESS BENEDICT XVI TO CARD. PAUL POUPARD
ON THE OCCASION OF THE PAN-ASIATIC MEETING OF MEMBERS AND CONSULTORS
OF THE PONTIFICAL COUNCIL FOR CULTURE AND PRESIDENTS
OF THE NATIONAL EPISCOPAL COMMISSIONS FOR CULTURE
(DENPASAR, BALI - 26-30 NOVEMBER 2006)

To my Venerable Brother Cardinal Paul Poupard President of the Pontifical Council for Culture and of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue

On the occasion of the Pan-Asian meeting of Members and Consultors of the Pontifical Council for Culture and Presidents of the National Episcopal Commissions for Culture, I am pleased to send greetings to you and to all the participants who have come together in Bali to reflect on the theme: "The Fullness of Jesus Christ Alive in Asian Cultures: ‘And from his Fullness Have We All Received, Grace Upon Grace.’"

It was in Asia that God revealed and fulfilled his saving purpose from the beginning, and it was there too, in the fullness of time, that he sent his only-begotten Son to be our Saviour (cf. Ecclesia in Asia, 1). I pray, therefore, that this Continent, in which the great events of salvation history took place, may encounter anew the living Lord, the Word made flesh, in the context of its rich variety of cultures. Truly, Asia is a Continent of deep spirituality and mysticism, closely attuned to the mystery of God, and for this reason it constitutes fertile ground where the Word of God can be sown and bring forth a rich harvest.

I am convinced that there is a great need for the whole Church to rediscover the joy of evangelization, to become a community inspired with missionary zeal to make Jesus better known and loved. In the course of your deliberations, may the Holy Spirit lead you to discover new ways of proclaiming the fullness of the Gospel of Christ to the peoples of Asia, new ways of evangelizing those cultures and inculturating the Christian faith in that fertile ground. Naturally, such evangelization has to be accompanied by a commitment to sincere and authentic dialogue between cultures and between religions, marked by respect, reciprocity, openness and charity. When such conditions exist, the preacher can joyfully prepare a way for the Lord, who desires to make his home among all people of goodwill. And if the faith is to put down deep roots, the missionary also needs to take steps to inculturate the Gospel message so that it is expressed and lived in the language of local traditions and practices, provided always that any hint of relativism or syncretism is avoided. Keep this at the forefront of your minds in these days of prayerful reflection: evangelization and inculturation constitute an inseparable pair, both elements of which must be present if the Gospel of Christ is truly to become incarnate in the lives of people of every race, nation, tribe and language (cf. Towards a Pastoral Approach to Culture, 5).

In commending you and all those present at this gathering to the intercession of the Blessed Virgin Mary, Mother of the Incarnate Word, I cordially impart my Apostolic Blessing as a pledge of joy and peace in our living Lord and Saviour, Jesus Christ.

From the Vatican, 15 November 2006

BENEDICTUS PP. XVI