Syalom!

Blog ini berupaya menyajikan jurnal studi Filsafat dan Teologi
para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana - Malang.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini adalah pendapat penulis sendiri, bukan cerminan pendapat pengelola blog. Tulisan-tulisan ini adalah hasil perenungan dan kerja keras para mahasiswa, dan tidak mengandaikan isinya adalah ajaran resmi Gereja Katolik.

Saturday, December 5, 2009

Kisi-kisi

Beberapa pertanyaan yang bisa membantu untuk kuliah Liturgi:

1. Sebutkanlah hari-hari raya Yahudi.

2. Apakah makna marana tha, maran atha, dan ephapax?

3. Terangkanlah 3 konsep dinamis Tahun Liturgi Gereja: pedagogi, mistagogi dan perayaan.

4. Di dalam tahun liturgi ditemukan hubungan erat antara pengudusan dan ibadah. Apa hubungannya?

5. Sebutkanlah tujuh nilai teologi Hari Minggu.

6. Ada lima aspek pastoral Hari Minggu. Sebutkan!

7. Sebutkan dan terangkan tiga tokoh utama Masa Adven!

8. Bagaimana sikap dasar penghayatan Masa Adven?

9. Apakah Platytera itu?

10. Dalam tradisi Romawi dirayakan 3 misteri Natal, apa saja?

11. Apa yang menjadi teologi perayaan Natal?

12. Jelaskanlah apakah perayaan Epifania.

13. Masa prapaskah melibatkan tiga pihak: umat, katekumen dan peniten. Terangkalah.

14. Sebutkan saja spiritualitas liturgi Masa Prapaskah.

15. Apa saja prinsip teologis perayaan orang kudus, sebutkan dan jelaskan singkat.

Saturday, April 4, 2009

MENJADI RASUL SEJATI MENURUT PAULUS

oleh:
Tomi Hariono, PR

1. Pengantar
Jika seseorang hidup tanpa mengenal Kristus di dalam dirinya, maka ia hidup di bawah kemarahan Allah. Dia hidup bagaikan hidup dibawah langit mendung tanpa guntur. Ungkapan ini diambil dari ungkapan yang biasa digunakan oleh para Nabi dalam Perjanjian Lama. Kemarahan Tuhan ditujukan dalam kehidupan yang mengerikan. Kehidupan yang mengerikan ini merupakan hukuman bagi orang yang tidak setia. Hukuman diberikan kepa
da orang yang telah berdosa,
 contoh Sodom dan Gomora. Sehingga di dalam keadaan dosa tidak mungkin orang dapat diselamatkan atau memperoleh keadilan. Maka tak seorangpun dapat luput dari murka Allah, hubungan umat manusia dengan Allah telah putus. Putusnya hubungan ini memasukkan manusia pada dosa. Dosa yang telah membawa kehancuran baik jiwa maupun raga.
Dalam suratnya kepada umat di Roma (2,14) Paulus mengatakan meskipun orang kafir, asal mereka mengikuti imannya dengan baik, maka akan menerima rahmat yang cukup sehingga dia diselamatkan. Di sini Paulus sebagai Rasul Kristus ingin melawan peradaban Romawi-Yunani yang sama sekali kafir itu. Paulus berjuang bukan untuk dirinya melainkan untuk umatnya. Bahkan banyak orang menyembah berhala karena mereka menuruti kehendaknya sendiri, mereka tidak lagi memuliakan Allah. Mereka menjadi bebal dalam segala pikirannya, tidak mau mengucap syukur pada Allah, hati mereka juga menjadi gelap dan jauh dari Tuhan. Mereka menamakan diri orang bijaksana tetapi sebenarnya bodoh. (Rom 1, 21-23) Demikianlah faktanya bahwa kedurhakaan manusia menindas kebenaran yang dari Allah. Hidup mereka penuh dengan iri hati, kebencian, balas dendam, tidak setia, sombong, pandai dalam kejahatan serta tidak mengenal belas kasihan (Rom1, 24). Hidup dalam kegelapan kafir memang busuk!
Berangkat dari realita inilah Paulus sebagai Rasul Kristus berusaha untuk kem
bali menyadarakan iman mereka, berusaha untuk menghadirkan kembali pribadi Kristus di dalam hati mereka. Pribadi Kristus yang telah hilang akibat dosa-dosa mereka. Maka dalam paper ini akan dibahas makna menjadi rasul sejati menurut Paulus. Betapa pentingya menjadi Rasul ditengah-tengah orang berdosa suatu sikap yang sulit dan disinilah akan diperlihatkan juga bagaimana pergulatan Paulus sebagai Rasul. Sebuah pergulatan hidup sebagai Rasul yang tidak mudah. Penulis melihat bahwa Paulus terus berusaha memaknai hidupnya sebagai Rasul melalui tahap kronologis teologis kerasulannya. Paulus mengalami beberapa pergulatan dalam hidupnya yaitu bertolak dari latar belakang Yudaisme menuju pada pelayanan kerasulan sebagai murid Kristus yang sejati. Usaha-usaha menjadi Rasul Kristus inilah yang akan dipaparkan dalam paper ini.
Dengan bercermin pa
da pergulatan hidup Paulus akan banyak ditemukan gagasan-gagasan mengenai kerasulan Kristiani yang benar. Gagasan akan sikap-sikap merasul yang dapat dirumuskan secara jelas bagi umat Kristiani dewasa ini. Dengan kata lain akan dijelaskan nilai-nilai luhur dari merasul. Sebuah nilai yang tidak dipandang sebagai sebuah keharusan melainkan sebuah ketaatan yang sejati kepada Allah. Nilai-nilai yang sarat akan makna merasul inilah yang akan sangat menentukan bagi hidup Kristiani (1 Kor 9: 23).

2. Bagaimana Menjadi Rasul Sejati Menurut Paulus?
Secara kronologis biografis Paulus adalah Paulus berasal dari Tarsus. Tarsus merupakan kota perdagangan dengan kultur Yunani. Paulus merupakan orang perantau yang hidup di Tarsus di daerah kilikia (Kis 9:11;21). Sebagai orang Yahudi yang berstatus migran Paulus sangat taat kepada hukum Taurat. Melalui sikap ketaatanya pada taurat ini dapat dikatakan bahwa Paulus sangat terdidik secara intens dalam hukum Taurat. Sejak umur sebelas tahun dia dikirim ke Yerusalem untuk belajar pada seorang rabi terkemuka yaitu Gamaliel (Kis 22:3). Kemungkinan besar Paulus adalah seorang pengajar hukum Taurat. Sebelum pertobatannya Paulus termasuk dalam bagian kaum Farisi. Kelompok orang yang berusaha melaksanakan perintah-perintah Taurat dengan setia. Sehingga jika ada orang yang melawan dan tidak taat pada hukum Taurat, maka tidak segan-segan Paulus menghukum mereka seperti dilukiskan dalam Kis 22:4; 26:9-12; Gal 1: 13 tentang kekejaman penganiyaan Paulus terhadap orang kristen.
Bagi Paulus sendiri menjadi Rasul Kristus harus berani untuk menunjukkan imannya. Iman akan Yesus Kristus yang sudah bangkit. Maka menjadi Rasul sejati versus Paulus akan disempitkan pada tiga point penting sebagai Rasul. Tiga point tersebut akan dijelaskan di bawah ini yaitu:

A. Menyadari Indentitasnya
Masyarakat zaman Paulus mengalami krisis identitas. Salah satu contoh adalah surat Paulus kepada komunitas Kristiani di Filipi. Mereka berpikir hanya dari sudut materi, seolah-olah hanya dari benda-benda materi mereka dapat hidup. Paulus pun mengalami transfigurasi identitas. Yesus Kristuslah yang telah mengubah identitasnya. Semula Paulus ingin membasmi dan menangkap orang-orang Kristen, akan tetapi pengalaman dasyat telah mengubah hidupnya (Kis 22:4). Perubahan nama dari Saulus menjadi Paulus merupakan bukti lahirnya identitas baru dalam hidupnya. Kesadaran akan Kristus menjadi sebuah nilai baru bagi Paulus.
Menyadari identitas sangatlah penting. Identitas Paulus untuk mau menjadi Rasul senantiasa selalu dikaitkan dengan figur Yesus Kristus. Hal ini jelas terungkap dari kata-kata Paulus sendiri, yaitu
“Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semua. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semua itu dan kuanggap sampah” (Flp 3:7-8)
Dengan menyadari identitas sebagai Rasul, Paulus telah mengubah secara total pilihan hidupnya.Sebuah kesadaran yang membawanya secara penuh menjadi pengikut Kristus. Menjadi pengikut Kristus dalam konteks Paulus tidaklah mudah. Paulus harus berjuang membawa kebenaran kebangkitan Kristus kemana-mana. Sebuah perjuangan yang didasari oleh kesadaran identitas yang tinggi, bahkan Paulus sendiri dengan berani mengatakan:
“Bukan lagi aku melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20)
Inilah sebuah perjumpaan yang membawa identitas baru bagi Paulus, identitas Rasul sejati. Bahkan setelah Paulus menyadari bahwa dirinya orang berdosa. Paulus mengatakan:
“Celakalah aku kalau tidak mewartakan Injil” (1 Kor 9:16)
Bagi Paulus Kristus adalah satu-satunya juru selamat. Tanpa hadirnya Kristus di dunia maka tidak ada harapan, karena manusia terbelenggu oleh beban dosa. Dosa senantiasa membawa manusia kepada maut. Maka kalau kita ingin selamat seseorang harus mau menerima Yesus sebagai sumber imannya. Dengan menerima Yesus berarti sudah membuka diri untuk semakin menyadari identitas pribadinya.

B. Dewasa dalam Roh
Pewartaan Paulus senantiasa berangkat dari situasi dan kondisi mereka yang diwartai. Paulus tahu kapan memberi susu atau makanan keras sesuai kedewasan mereka (1 Kor 3:2). Paulus rela menjadi segala-galanya bagi kemuliaan Yesus Kristus (1 Kor 9:19-23). Menurut Paulus dewasa dalam Roh merupakan salah satu syarat untuk menjadi Rasul Kristus. Dewasa dalam Roh
 mengandaikan bahwa dia harus tahan uji dalam segala cobaan dan mau melayani dengan sepenuh hati. Proses ini membutuhkan kerendahan hati dan semangat pelayanan terhadap sesama. Unsur kerendahan hati ini sangat penting karena Roh Kudus telah diberikan oleh Yesus Kristus pada setiap manusia. Bahkan Paulus sendiri mengatakan:
”Bahwa anugerah-anugerah Roh Kudus telah diberikan seperti dan aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua, tetapi bukan aku melainkan kasih karunia yang menyertai aku”
(1 Kor 15: 20)
Menjadi dewasa dalam Roh berarti mau melaksanakan dan mengerti Roh Allah itu sendiri, sehingga buah-buahnya dapat dirasakan; salah satunya penguasaan diri (Gal 5:22-23).
Kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus membawa seseorang pada kedewasaan Rohani. Kedewasaan rohani yang membawa terang bagi sesama. “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan” (Flp 5:8-10). Dewasa dalam roh adalah selalu berpikir dan memusatkan perhatian pada Kristus. Senantiasa membawa pikiran dan perbuatan yang terarah pada Yesus Kristus. Menjadi pribadi yang dewasa menurut Paulus harus dapat mengatasi hambatan-hambatan bagi iman. Hambatan bagi iman adalah rasa takut untuk bertumbuh dalam iman, rasa khawatir terhadap penyelenggaraan Ilahi, keraguan pada diri sendiri, dan terkakhir adalah melawan godaan setan.

C. Dapat Mengatasi Kedagingan
Paulus senantiasa mendidik komunitas-komunitas jemaat yang dilayaninya agar jemaat belajar membangun hidup Kristiani mereka dengan benar (1Kor 11: 28-29, 2 Kor 13:5-6). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rom 8: 1-17), Paulus mendorong jemaat agar hidup menurut Roh Kudus dan tidak membiarkan hidup menurut daging. Perbuatan-perbuatan kedagingan akan membawa pada kehancuran dan kematian. Istilah kedagingan mengacu pada tubuh, emosi, ataupun nafsu seksual. Hasil karya daging terlihat jelas dalam Gal 5:19-21 yaitu dosa-dosa seksual, iri hati, sombong, cemburu, roh pemecah, pencabulan, sihir, perseteruan, perselisihan, amarah, percideraan, kedengkian, kemabukan, pesta pora, dan sebagainya. Sifat-sifat ‘daging’ ini membawa pada kecenderungan tidak teratur dari tubuh sehingga dapat membawa manusia pada dosa. Akibatnya adalah terpisahnya hubungan manusia dengan Allah karena sifat daging ini. Di sini Paulus ingin menekankan bahwa ‘daging’ merupakan kodrat manusia yang rapuh, yang dinodai oleh dosa, dan cenderung untuk melepaskan diri dari Allah. Seperti tertulis dalam Roma 7:14-15 yang mengatakan “tetapi aku bersifat daging, terjual dibawah kuasa dosa”. Maka dari itu ‘daging’ merupakan sumber dosa dan menjadi masalah pribadi yang harus diatasi dalam hidup
 kita.
Dalam Roma bab 7 dan 8 Paulus mengagas metode mengatasi kedagingan ini yaitu: (1) mendengarkan sabda Tuhan, berusaha mengerti keinginan Tuhan, dan berusaha senantiasa untuk mentaati perintah Tuhan dengan segenap hati. (2) dengan mengandalkan kekuatan Roh Kudus (Rm 8:3-4). Dalam hal ini kita tidak dapat mengubah hidup kita sendiri. Keinginan daging membelenggu kita ke dalam lingkaran dosa dan ketidakpercayaan. Sehingga kita membutuhkan aturan yang benar dalam hidup, tetapi kita juga membutuhkan perubahan kodrat, yaitu kelahiran baru, menjadi manusia baru dalam Roh Kudus (2 Ptr 1:4). Manusia baru yang dapat memperbaharui diri serta dapat melepaskan diri dari kedagingan.

3. Apa Ciri Menjadi Rasul Sejati Menurut Paulus?
Menjadi pengikut Kristus menjadi Rasul-Nya. Di sinilah Paulus yakin akan perutusannya untuk 
menjadi pewarta karya Allah. Paulus berbalik dari membela Taurat ke pembela Kristus. 
Mengapa bisa demikian? Paulus menjawab Kristus telah mati karena dosa-dosa kita. Sebagai pengikut Kristus Paulus sangat menghayati apa yang diwartakannya. Bahkan sebagai Rasul,
 Paulus rela menderita demi Kristus. Bagi Paulus Kristus adalah kekuatan Ilahi yang memberinya kekuatan untuk merasul. Demi membela Kristus Paulus rela disiksa berkali-kali bahkan Paulus disiksa sampai setengah mati. (2 Kor 11:23-30). Meskipun dibawa ke Roma sebagai tahanan, Paulus tetap mewartakan Kristus (Kis 27-28). Paulus juga konsisten membela orang non yahudi yang menjadi Kristiani (Gal 2:11-14). Maka secara eksplisit Paulus ingin menunjukkan integritas pentingnya sebuah kesetiaan sebagai rasul sejati. Maka dibawah ini akan ditunjukkan ciri-ciri menjadi Rasul Sejati.

A. Dapat Membedakan Gerakan Roh
Menjadi pengikut Kristus diartikan mau melakukan apa saja yang menyenangkan Allah, seperti yang dilakukan oleh Yesus dari Nazaret (Rm 12:2; 14:8; 2 Kor 5:9). Ajaran Paulus mengenai pembedaan Roh berangkat dari sebuah kesadaran bahwa semua yang dibimbing oleh Roh Kudus adalah anak-anak Allah (Rm 8:14). Menjadi Rasul Sejati meminta sebuah syarat yaitu membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus (Rm 8,14). Sebagai Rasul Sejati Paulus menekankan bahwa setiap orang harus dapat menemukan apa yang berkenan pada Allah ini adalah buah dari pembedaan Roh. Menurut Paulus pembedaan Roh merupakan seni mendengarkan terhadap Roh yang membuat orang mengerti apa yang dikatakan Allah kepadanya. Untuk mengerti kuasa Allah dibutuhkan proses. Proses pembedaan Roh itu membutuhkan kepekaan untuk mendengarkan suara Allah dalam keheningan batin (1Kor 12:10). Maka dari itu tujuan pembedaan Roh adalah untuk mengetahui apa yang diharapkan Allah bagi kita saat ini. Kunci dalam proses pembedaan Roh adalah belajar untuk dapat mendengarkan dan membedakan suara Tuhan di antara banyak suara-suara lain. Suara-suara yang lain itu kerap membingungkan hati nurani dan membuat hati manusia menjadi bimbang (1 Tes 5: 19-22).
Proses pembedaan Roh sepertinya ingin menunjukkan pergulatan batin diri kita dalam hidup sehari-hari. Pergulatan batin antara kekuatan baik dan kekuatan jahat; antara pengaruh Allah dan pengaruh Iblis. Karena itulah kita perlu mengerti gerekan Roh dengan jelas, sehingga nantinya kita tidak tertipu oleh gerakan yang menjerumuskan (2 Kor 12:7). Jadi pembedaan Roh berarti tindakan memilah-milah, membedakan aneka gerakan dalam batin. Pembedaan Roh membantu kita untuk meneliti dengan jelas aneka dorongan batin untuk asal-usulnya, menemukan mana yang berasal dari Roh Kudus dan mana yang bertentangan dengan-Nya.
Secara umum inti dari pembedaan Roh dalam hidup orang Kristen adalah kemauan untuk meninggalkan cara berpikir dan penilaian diri sendiri. Senantiasa memusatkan diri pada sikap dan tindakan Kristus. Dapat dikatakan disini pembedaan orang Kristen adalah berpikir bukan lagi pada diri pribadinya, melainkan pikiran Yesus Kristus sendiri. Sikap untuk maju di dalam Tuhan, inilah yang selalu dipraktekkan oleh Paulus (Tit 2:2).

B. Dapat Mengenal Kehendak Allah
Paulus berulang kali menegaskan bahwa hidup seorang Kristiani adalah bersatu dengan Roh Allah. Kedekatan terhadap Allah ini harus terus diusahakan oleh orang beriman. Sudah seharusnya kita sebagai anak-anak Allah berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Pernyataan ini disetujui oleh Paulus sehingga dia dengan berani mengatakan:
“Sebagai anak Allah kita mesti mensyesuaikan diri dengan hidup dan martabat Allah, berubah dalam pikriran budi, sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:2)
Kehendak Allah terungkap lewat tanda-tanda kehidupan, yaitu melalui peristiwa, sesama, kehendak Allah terungkap melalui tanda-tanda dari Allah. Tanda-tanda itu bisa kabur, dan sangat sering tercampur dengan kejahatan. Maka dari itu kita perlu membaca kembali peristiwa hidup dalam Roh.
Menurut Paulus belajar untuk mengenal kehendak Allah merupakan suatu hal yang mutlak diwajibkan sebagai pengikut Kristus. Pembedaan Roh dapat membuat seseorang mengerti apa yang dikatakan oleh Allah. Untuk itulah dibutuhkan kepekaan dan kesadaran diri dalam mendengarkan suara Roh. Suara Roh ini dapat didengarkan dalam keheningan batin. Batin yang terang dan diam akan dapat membedakan Roh dengan jelas, karena pembedaan Roh merupakan anugerah dari Roh Kudus (1 Kor 12:10). Sehingga dalam hal ini yakni mengenal kehendak Allah harus mau dipimpin oleh Roh Allah sendiri. Roh Allah yang dapat menggerakkan perbuatan baik kepada sesama. Bahkan Paulus mengatakan “sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan” (ef 5:8-10)

4. Apa Makna Menjadi Rasul Sejati Menurut Paulus?
Menjadi pengikut Kristus berarti mau menjadi Rasulnya. Paulus merasa yakin bahwa perutusannya di dunia menjadi pewarta kerajaan Allah merupakan perwujudan pribadi Yesus Kristus kepada sesama. Bagi Paulus Yesus sungguh-sungguh Kristus, karena Kristus telah mati karena dosa-dosa kita (1 Kor 15:3). Untuk itulah Paulus mau menjadi Rasul Kristus yang mau mengorbankan seluruh hidupnya untuk Kristus dan untuk semua orang. Bahkan Paulus sendiri mengatakan “celakalah aku jika aku tidak memberitakan injil” (1 Kor 9:16). Paulus rela untuk mempersembahkan hidupnya dengan menjadi rasul bangsa-bangsa (Rm 11:13). Paulus yakin bahwa dirinya senantiasa dijiwai oleh semangat melakukan sebuah kebenaran. Sebuah kebenaran yang sejati sebagai Rasul Kristus.
Sepak terjang Paulus sebagai Rasul, bukan hanya menunjukkan pergulatannya untuk memaknai hidupnya tetapi ingin mengungkapkan universalitas dari keselamatan Kristus. Bagi Paulus Kristus adalah puncak sejarah keselamatan (Rm 10:4); keselamatan yang diperoleh dari salib. Salib merupakan tanda kasih sejati sumber keselamatan. Menjadi Rasul Kristus mempunyai makna dapat mengatasi kepentingan diri sendiri, dapat menghindarkan kecenderungan ekslusif dan saling menghakimi, tidak membeda-bedakan sesama, dan dapat menjauhkan diri dari sikap egoisme. Identitas merasul ini dirumuskan oleh Paulus atas dasar Yesus Kristus yang telah wafat bagi semua orang. Makna merasul ini mengutamakan cara hidup Kristus sendiri yang melawan egoisme, egosentrisme dan fanatisisme. Dengan demikian makna merasul adalah mau menjadi hamba bagi semua orang, dan Paulus berkata “bagi semua orang aku telah menjadi hamba Rasul Kristus” (1 Kor 9:22). Di sini Paulus tidak mau mencari kepentingan diri sendiri, tetapi Paulus lebih suka mencari Kristus.
Menurut Paulus menjadi Rasul Kristus bukanlah profesi yang wajib dilaksanakan, tetapi sikap ini merupakan cara hidup; suatu komitmen pilihan eksistensial. Berangkat dari hal ini Paulus ingin mengajarkan pada kita bahwa menjadi Rasul Kristus bukanlah suatu profesi, karena profesi adakalanya menuntut imbalan. Paulus mengajak orang-orang yang beriman kepada Kristus untuk beralih dalam mengatasi manusia duniawi berubah menjadi manusia rohani. Cara Hidup Paulus ini sangat kontekstual sebagai Rasul Kristus. Cara hidup yang sama sekali tidak menuntut imbalan, upah-mengupah, atau kehormatan. Bagi Paulus upah untuk kerasulannya seakan-akan merupakan suatu pelecehan (bdk 2 Kor 11: 9). Bahkan dengan bangga Paulus mengatakan “upahku ialah: bahwa aku boleh memberitakan injil tanap upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (1 Kor 9:18).
Mengapa Paulus sangat anti terhadap upah? Karena menjadi Rasul sejati tidak meminta upah. Orang yang bekerja karena upah adalah hamba upah yaitu menjadi manusia duniawi. Paulus bangga karena menderita demi Kristus, dan demi kemajuan Injil. Paulus rela sangat menderita demi salib, bahkan sampai hampir membawanya pada kematian. Bagi Paulus kasih Allah menjadi dasar yang paling kokoh dalam aktivitas kerasulannya, seperti perkataannya pada jemaat di Galatia yang mengatakan “Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal 6: 14). Oleh karena itu menjadi segala-galanya demi semua orang adalah salah satu makna terdalam menjadi Rasul Kristus.

5. Relevansi dalam zaman ini
Setiap orang Kristiani dipangil untuk merasul. Seperti pesan yang telah diserukan oleh Bapa Suci Benediktus XVI pada hari Minggu Misi sedunia ke-82 kepada para Uskup selaku pemegang otoritas penggembalaan Gereja.
“Seorang Uskup dipanggil untuk menjangkau mereka-mereka yang jauh dan belum mengenal Kristus atau belum mengalami cinta-Nya yang membebaskan”
Pesan ini sangat penting terutama bagi siapapun yang telah mengambil bagian secara khusus dalam kehidupan menggereja termasuk para imam di dalamnya. Pesan ini mau mengatakan bahwa seperti Rasul Paulus setiap orang dipanggil untuk menjadi seorang rasul yang mau memberikan dirinya secara sukarela kepada setiap orang. Mau membagikan semua kemampuan, bakat, serta mau melayani sesama tanpa meminta balasan. Di sinilah peran Gereja di tengah-tengah dunia, inilah misi Gereja (ad gentes) yang hendak mempersatukan semua umat tanpa terkecuali. Berusaha mempersatukan dan mempertemukan semua kegiatan berpastoral dan karya amal. Dalam hal ini disinilah letak kegiatan merasul yang sejati yaitu mau berbagai terhadap sesama apapun itu bentuknya.
Menjadi Rasul sejati pada zaman ini adalah mau mencontoh sikap Paulus yaitu mau merangkul semua orang ke dalam jalan kebenaran. Membebaskan manusia dari arogansi etnis, membebaskan manusia dari jerat dosa duniawi. Sikap menjadi Rasul sejati yaitu harus memerangi keegoisan, matrealisme, dan nilai-nilai keburukan dari kemegahan dunia. Bagi Paulus sikap ini sangat dituntut sebagai Rasul Kristus yang sejati seperti apa yang dikatakannya dalam Gal 3:28 tentang Paulus yang memerangi sikap ekslusif kaum beriman. Kristus yang diwartakan oleh Paulus adalah Kristus yang mau terbuka pada siapa saja, Kristus yang mau melayani siapa saja. Belajar dari pengalaman Paulus ini sebagai calon imam yang nanti akan menjadi pemimipin di masa depan. Perlu sekali mencontoh sikap Paulus yang tidak setengah-setengah dalam pelayanan, tidak mementingkan diri sendiri, mau melayani dengan sepenuh hati. Bahkan Paulus rela menjadi hamba bagi sesama. Inilah sikap yang harus kita contoh sebagai Rasul Kristus, yaitu mau mengabdi kepada sesama manusia demi lahirnya manusia rohani dalam Kristus Yesus.

Sunday, March 22, 2009

PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL (Bagian II Selesai)

PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL

(Bagian II Selesai)
Oleh:
Denny Moeryadi

D. Pikiran-Pikiran Pokok

1. Fenomenologi

Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran3 (Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151). Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi4 (Dalam KBBI (Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang berpasangan; pembagian dua konsep yang bertentangan satu sama lain) (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris5 (Berdasarkan Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm.957, Rigoris merupakan suatu sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan, bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat) (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.

Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri” (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari.

Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.

Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.

Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi.

Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.

Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.


2. Intensionalitas

Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran6 (Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117). Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.

Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.

Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya7 (Donny Gahral Adian, Op.cit, hal. 141). (Husserlian XVII: 239-240).

3. Tiga Jenis Reduksi8 (Harry Hamersma, Op.cit, hlm. 117)

Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).



E. Relevansi

Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.

Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.

Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

Sebagai pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil dan, mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di zaman sekarang).



F. Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena.

Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.

Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.

Daftar Pustaka

Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif),

Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.

Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad XX, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988.

Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.

Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka Phoenix,

2007.