Menurut legenda yang beredar di Indonesia (dan hanya di Indonesia) kisah qingming dihubungkan juga dengan Kaisar Zhu Yuanzhang, pendiri Dinasti Ming (1368–1644) yang menjatuhkan Dinasti Yuan (Mongol) (Marcus A.S., Hari-hari Raya Tionghua, Suara Harapan Bangsa, 2009, hlm. 128-134; James Danandjaja, Folklor Tionghua, PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, 381). Kiranya kedua buku ini keliru menempatkan peristiwa sejarah pada tokoh historis yang disebutkan. Selain itu, kisah yang dikisahkan dalam dua buku tersebut bersifat anakronitis, sebab perayaan Qingming sudah lama dilakukan sebelum Dinasti Ming, dan meetakkan kertas lima warna sudah dilakukan oleh pendiri Dinasti Han, Liubang.
Menurut buku yang ditulis oleh Marcus A.S., Kaisar Zhu Yuanzhang setelah menjadi Kaisar dengan gelar Ming Taizhu, teringat pada orang tuanya yang telah meninggal, namun tidak tahu di mana letak kuburannya. Bagaimana dia dapat berbakti kepada orang tua kalau kuburan orang tua saja tidak bisa ditemukan? Karena itu dia berusaha mencari di mana letak kuburan kedua orang tuanya, dan memerintahkan para tentaranya untuk mencari, namun tanpa hasil. Akhrinya seorang penasihatnya memberi nasihat agar memerintahkan semua rakyat pergi ke kuburan leluhur, menebarkan kertas lima warna di atas pusara leluhur. Karena itu pada hari yang ditentukan, yakni pada peringatan Jie Zitui, pada perayaan hanshi, rakyat berziarah ke kuburan. Sebelum menaburkan kertas lima warna, mereka membersihkan rumput liar terlebih dahulu. Ketika kaisar datang ke kuburan di kampong halamannya itu, ditemukanlah dua kuburan yang belum dibersihkan dan ditaburi kertas lima warna. Maka kaisar mengakui kedua kuburan itu sebagai kuburan orang tuanya.
Kisah ini rupanya merupakan jiplakan atas kisah Liu Pang, pendiri dinasti Han (206 SM-220 M), yang mencari kuburan orang tuanya. Namun karena tidak menemukannya, dia melemparkan kertas lima warna (wushiji) dengan harapan dapat membawa nasib baik.
Ternyata kertas-kertas tersebut jatuh di atas kuburan yang kemudian diyakini sebagai kuburan orang tuanya. Maka dapat dipahami kalau kertas-kertas yang ditaburkan di atas makam ini tidak memiliki maksud magis atau tahyul, namun lebih sebagai bentuk simbolis dari penandaan kuburan.
Awal mula perayaan Qingming dipercayai berasal dari Kaisar Xuanzong (685-762) dari Dinasti Tang (唐玄宗). Karena orang-orang kaya secara sangat demonstratif mengadakan upacara yang sangat mahal untuk menghormati leluhur yang meninggal, Kaisar Xuanzong melarangnya dengan mengumumkan bahwa perayaan resmi penghormatan kepada leluhur baru dilakukan pada hari Qingming.
Hal yang penting dalam Qingming ini adalah makna di balik seluruh upacara dan perayaannya. Ada kisah Jie Zitui (kepahlawanan dan kesediaan berbakti kepada raja dan orang tua), dan kisah Liubang yang selalu ingat akan orangtuanya meskipun mereka sudah meninggal. Keduanya merupakan warisan dari ajaran Konfusianisme akan bakti kepada orangtua/leluhur. Maka perayaan Qingming merupakan perayaan keluarga, tentang nilai-nilai kehidupan.
Bagi orang Tionghua, ritual atau upacara atau perayaan selalu mempunyai dimensi humanis. Upacara bukan saja selalu urusan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia. Qingming merupakan ungkapan yang sangat jelas akan hal ini. Manusia yang sudah meninggal pun (sudah menjadi arwah) pantas mendapatkan penghormatan. Apalagi penghormatan ini merupakan wujud dari relasi orangtua-anak, dalam konteks xiao 孝 sebagaimana diajarkan oleh Konfusius.
Catatan menarik tentang Qingming Jie bisa dilihat di sini:
http://www.ppsatop.com/Lain2/QingMingJie.html
No comments:
Post a Comment