Syalom!

Blog ini berupaya menyajikan jurnal studi Filsafat dan Teologi
para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana - Malang.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini adalah pendapat penulis sendiri, bukan cerminan pendapat pengelola blog. Tulisan-tulisan ini adalah hasil perenungan dan kerja keras para mahasiswa, dan tidak mengandaikan isinya adalah ajaran resmi Gereja Katolik.

Saturday, January 17, 2009

Menuju Inkulturasi Misa Imlek (Bagian IV Terakhir)

b. Hiasan-hiasan dalam gereja

Dalam konteks Misa Imlek, ide utama dalam Misa itu adalah bahwa pada hari itu umat Katolik diundang untuk bersatu lebih erat lagi dengan Kristus. Bila saudara-saudaranya yang tidak seiman pergi berdoa di klenteng untuk memohonkan berkat pada tahun yang baru dan mengenyahkan bencana, maka bagi umat kristiani mereka datang ke gereja untuk bersatu dengan Kristus. Perhatian utama dalam Misa Imlek bukan lagi takut akan “nasib buruk” di tahun yang baru, melainkan adalah bahwa umat dengan mantap “melangkah bersama Kristus” memasuki tahun baru.

Hiasan-hiasan dalam gereja pada hari-hari raya bermaksud memberi warna istimewa, bahwa hari itu adalah hari khusus, di mana orang semakin diajak untuk merenungkan lebih mendalam lagi misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, dan semakin meneguhkan iman kita. Secara khusus pada Misa Imlek, biasanya gereja-gereja didekorasi begitu indah untuk menciptakan suasana oriental. Namun kerap kali yang terjadi malahan dekorasi itu mengacaukan konsentrasi umat, dan mengalihkannya dari Kristus yang menjadi pusat perayaan. Maka hendaknya hiasan-hiasan khas oriental itu tidak dibuat berlebihan. Atau dengan bahasa gamblangnya “tidak memindahkan klenteng ke dalam gereja,” supaya umat dapat dengan mudah mengarahkan perhatiannya Yesus Kristus yang hadir dalam seluruh perayaan Ekaristi.


c. Pantang dan Puasa

Kalau melihat kalender liturgi, masa prapaskah biasanya jatuh pada bulan Februari. Sementara itu Imlek bisa saja jatuh sekitar bulan Februari. Beberapa tahun terakhir ini Imlek jatuh pada hari-hari di sekitar Rabu Abu, bertepatan dengan Masa Prapaskah.

Menanggapi umat yang merayakan Imlek, demi alasan pastoral dan inkulturasi, beberapa keuskupan merasa perlu memberikan dispensasi dari kewajiban pantang dan puasa di hari Rabu Abu bila Imlek jatuh pada hari Rabu Abu, dan menggesernya ke hari yang lain. Keputusan yang demikian ini amat disayangkan, karena justru lebih mengikuti trend dan salah kaprah, yang menganggap bahwa Tahun Baru Imlek baru mempunyai makna bila disertai dengan pesta dan makan-makan.

Bila dilihat dari persiapan menyambut Tahun Baru Imlek, nyatalah bawa perayaan ini didahului dengan acara membersihkan rumah dan diri. Pakaian baru juga disiapkan untuk dipakai pada tahun yang baru. Semuanya ini memiliki makna simbolik, yakni bahwa pada tahun baru semuanya harus baru. Membersihkan seluruh rumah merupakan tanda lahir dari sikap membersihkan diri. Sebagai kelanjutannya mereka yang beragama Buddha justru berpantang daging selama tujuh hari imlek sebagai tanda askese dan pembersihan diri.

Maka menjadi sangat aneh bila Gereja justru “mengalahkan” Rabu Abu yang sungguh bermakna pertobatan hanya demi “menghormati” tradisi Imlek. Bukankah kebiasaan menyambut Tahun Baru Imlek dengan “bersih-bersih” ini menjadi semakin mendalam lagi dalam penghayatan Rabu Abu dan masa Prapaskah? Barangkali ini tradisi yang demikian dapat menjadi guru katekese yang baik bagi penghayatan hidup rohani umat kristiani yang merayakan imlek dan mempersiapkan diri merayakan Paskah Kristus.


4. Penutup

Jalan menuju inkulturasi masih panjang, apalagi menyangkut Misa Tahun Baru Imlek. Lingkungan di sekitar ikut mempengaruhi pemahaman yang tepat akan suatu tradisi. Gereja Indonesia tidak luput dari ketegangan, antara mengakomodasi kebutuhan umat Katolik yang masih merayakan imlek dengan mereka yang sudah tidak merayakan imlek di satu sisi, dan akan tradisi lain di bumi Nusantara. Jangan karena upaya ini Gereja dianggap sudah dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Apa pun yang dirayakan dalam Misa, hendaknya selalu diingat bahwa Misa adalah perayaan syukur, suatu eucharistia, yang berfokus dan berpuncak pada Yesus Kristus. Pada-Nyalah seluruh liturgi Gereja berpusat. Apakah namanya Misa Imlek, Misa Karismatik, atau pun Misa-misa lain yang memakai budaya tertentu, Misa tetaplah merupakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus Yesus. Dan Gereja menjamin bahwa setiap umat mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus, jaminan keselamatan manusia. Seandainya suatu paroki tidak secara khusus merayakan Misa Imlek, dan ada umat yang merindukan pada hari raya Imlek mereka dapat bertemu Yesus Kristus dalam Ekaristi, menyambut Tubuh-Nya yang mulia dan Darah-Nya yang berharga, maka pintu Gereja selalu terbuka untuk putra-putrinya.



Menuju Inkulturasi Misa Imlek (Bagian III)

3. Simbol dan Rahmat Allah dalam Misa Imlek

Tentunya perayaan suatu masyarakat muncul dari penghayatan akan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai perayaan itu kemudian disakralkan dengan upacara keagamaan, agar masyarakat yang merayakannya tidak hanya jatuh pada pesta pora kegembiraan, tetapi mempersiapkan manusia yang merayakannya dalam lingkup yang lebih rohani. Di sinilah rakyat atau masyarakat diikat dalam kesatuan suci yang membentuk mereka menjadi umat kudus (2
Bdk. The New Dictionary of Catholic Spirituality, The Liturgical Press, Collegeville, Minesota, 1993, hlm. 243). Hal yang sama terjadi dengan perayaan tahun baru Imlek. Apalagi perayaan ini adalah perayaan tahun baru menurut penanggalan imlek, maka mereka yang merayakannya merasa perlu memasuki tahun yang baru dalam keadaan penuh berkat.


a. Suatu Ketegangan Baru

Boleh tidaknya merayakan imlek kerap kali menjadi dilema bagi umat kristiani Tionghua. Mereka dihadapkan pada pilihan antara tetap merayakan Tahun Baru Imlek ataukah meninggalkannya karena sudah menerima pada Kristus. Kedua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Orang tidak perlu dipaksa untuk memihak yang satu dan menolak yang lain. Yang lebih utama adalah apakah tradisi itu bisa semakin memantapkan imannya pada Kristus. Di sini Gereja dapat menjadi jembatan penghubung yang ampuh melalui pemahaman yang tepat akan tradisi ini.

Pertanyaan dari sebagian umat “mana lebih utama, iman atau adat?” akan membawa kita kepada persepsi yang salah, dan “memaksa” kita harus berpihak: iman atau adat. Padahal tidak semua perayaan dalam tradisi itu jelek dan bertentangan dengan iman. Bagaimana mungkin pewartaan Injil akan berjalan dengan baik bila belum apa-apa justru sudah menghakimi suatu tradisi tanpa mempelajari dan mengerti tradisi tersebut? Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan mengadakan Misa Imlek umat semakin dekat pada Kristus sendiri, ataukah sebaliknya.

Perayaan Tahun Baru Imlek dalam kehidupan menggereja tidak perlu sampai menimbulkan ketegangan baru. Secara sekilas Tahun Baru Imlek memiliki kemiripan dengan praktek paskah Yahudi, meskipun konteks dan teologinya sangat berbeda. Namun hal itulah yang menggelitik untuk dilihat secara bersamaan, ditambah lagi Buku Misa yang mendapat imprimatur dari Komisi Liturgi Konferensi Uskup Taiwan (4
Bdk. juga TPE Bahasa Mandarin-Indonesia dengan suplemen Misa Tahun Baru Imlek, Dioma, 2007) memakai kutipan perjamuan Paskah bangsa Yahudi sebagai bacaan pertamanya. Di sana ditemukan unsur-unsur yang sama, misalnya ada yang lewat/berlalu, ada makan bersama dalam keluarga, warna merah (darah) di depan rumah, dan lain-lain.

Barangkali di sinilah letak inkulturasi Gereja di Taiwan untuk membawa orang lebih mengimani Kristus. Kebanyakan proses atau upaya inkuluturasi di Indonesia berhenti hanya pada hal-hal lahiriah, dengan penggunaan simbol-simbol tradisional, namun tidak menyentuh esensi dan masuk ke dalam nilai-nilainya sendiri. Lebih menyedihkan lagi kalau inkulturasi dijalankan hanya bertujuan demi inkulturasi itu sendiri.

Maka bila Gereja Indonesia hendak merayakan Imlek, beberapa aspek ini hendaklah menjadi pertimbangan, agar jangan sampai para petugas pastoral jatuh pada semacam eforia perayaan Imlek yang datar dan sekadar di permukaan saja.

i. Lewat/berlalu

Ungkapan yang biasa diucapkan dalam merayakan Imlek adalah guònián (过年), yang artinya adalah nián lewat. Nián dalam bahasa Mandarin adalah tahun. Karena itu pada hari pertama imlek, orang-orang mengatakan bahwa nián telah lewat, tahun yang lama sudah berlalu. Inilah ungkapan kegembiraan bahwa manusia sudah melewati satu tahun perjalanan hidupnya, baik dalam “kegembiraan, kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan” (5
TPE Bahasa Mandarin-Indonesia, Dioma, 2007, hlm 109), dan saatnyalah memulai hidup yang baru dengan semangat yang baru. Yang sudah berlalu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk menapak ke masa depan yang lebih baik.

Kita bisa melihat sedikit gambaran pada perayaan Paskah dalam tradisi Yahudi. Pada malam sebelum Paskah mereka semua bersiap-siap menantikan Allah melewati tanah Mesir (bdk. Kel 12:12) untuk membebaskan mereka dari perbudakan, dan membawa mereka menuju ke Tanah Terjanji, ke masa depan yang lebih baik.

Meskipun keduanya berbeda, tidak disangkal bahwa ada konteks melewati yang memberi harapan kepada manusia. Sambil menunggu dan berjaga-jaga orang diajak untuk mengarahkan diri kepada sesuatu di masa depan.

Sewaktu bangsa Israel merayakan perjamuan paskah, ketika mereka masih diperbudak di tanah Mesir, terjadilah perubahan ini: Tuhan akan berjalan dari tengah-tengah Mesir, dan mendatangkan bencana bagi mereka dengan membunuh anak-anak sulung mereka (bdk. Kel 11:4-5; 11:12). Sementara itu bangsa Israel berjaga-jaga (bdk. Kel 11:42)
menantikan pembebasan. Bagi Israel, mereka menyebut bahwa Allah melawat umat-Nya, membawa mereka melewati malam yang tegang menuju kepada hari yang lebih baik keesokan harinya.

Sementara itu, kebiasaan orang Tionghua jaman dahulu, pada malam Imlek orang tua berjaga-jaga menemani anak-anak yang tidur, agar mereka tidak mendapat bencana. Kalau bisa anak-anak juga tidak boleh tidur. Sebab mereka menantikan
nián yang membawa bencana guòqù (berlalu/lewat).


ii. Makan

Pada malam hari sebelum Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul di rumah orang tua untuk makan bersama. Kiranya pada waktu makan di sana terciptalah suasana yang hangat dan saling berbagi. Dengan menikmati makanan yang sama dari meja yang sama pula, dengan berbagi, seperti perjamuan paskah Yahudi, di mana bila satu keluarga tidak dapat menghabiskan seekor domba, dia dapat mengajak tetangganya (bdk. Kel 12:4), semua perbedaan antar anggota keluarga menjadi lebur. Mereka yang mungkin pernah tidak saling menyapa dan bermusuhan kini membina kembali hubungan keluarga yang indah ini di depan orang tua.

Alangkah indahnya kalau makanan jasmani yang dinikmati di malam sebelum Tahun Baru Imlek diarahkan pada makanan yang tidak dapat binasa dalam Ekaristi pada keesokan harinya. Pada saat di mana saudara-saudara yang belum percaya kepada Kristus, namun pagi-pagi sudah bersembahyang di klenteng-klenteng memohonkan berkat, Gereja juga mengajak putra-putrinya untuk bertemu dengan Kristus dan bersatu dengan-Nya melalui santapan roti para malaikat, yang menguatkan jiwa dan jaminan hidup abadi (bdk. Yoh 6:1-59).


iii. Warna Merah

Bangsa Yahudi memakai darah anak domba untuk memberi tanda di depan rumah mereka sebagai tanda, agar Tuhan melewati rumah mereka dan tidak mendatangkan bencana (bdk. Kel 11:13). Darah menjadi tanda keselamatan bagi umat Israel, darah juga yang menjadi meterai perjanjian Allah dan umat-Nya di gunung Sinai (bdk. Kel 24:8)

Warna merah ternyata juga
menjadi tanda untuk orang Tionghua. Bahkan dapat dikatakan bahwa warna merah menjadi warna kesukaan orang Tionghua, karena menampakkan kegembiraan, dan dipercaya dapat menolak bala atau bencana. Orang menikah, pesta ulang tahun, dan semua yang bersifat pesta kegembiraan selalu didominasi dengan warna merah. Selain memang sebagai tanda kegembiraan, juga merupakan semacam lambang perlindungan dari yang jahat. Yang paling mencolok adalah pemberian amplop kecil berisi uang yang disebut hóngbāo atau angpao.


Biasanya mereka yang sudah berkeluarga (orang tua) yang memberikan hóngbāo kepada mereka yang belum menikah (anak-anak) sebagai tanda berkat dan bekal kepada orang muda untuk memasuki tahun yang baru. Alangkah indahnya bagi orang Kristen agar tidak hanya memberikan uang dalam hóngbāo kepada anak-anak, melainkan mengisinya dengan ayat-ayat Kitab Suci sebagai bekal bagi mereka memasuki Tahun Baru Imlek.

Hóngbāo, yang karena warnanya merah darah, juga bisa mengingatkan orang akan darah berharga Yesus Kristus yang dicurahkan di salib. Tidak lagi dalam sikap orang yang tidak mengenal Kristus, melainkan bila disertai dengan ayat-ayat Kitab Suci, menyegarkan kembali iman akan ikatan istimewa yang telah dibuat Kristus, yaitu penebusan dengan darah-Nya yang mulia dan berharga.

Menuju Inkulturasi Misa Imlek (Bagian II)

Guònián (过年) dan Bàinián (拜年)

Melewati tahun yang lampau, dan silahturami di dalam keluarga dan masyarakat merupakan satu hal dengan dua sisi. Sisi pertama adalah mempunyai dimensi personal dan yang kedua memiliki dimensi sosial.

Dengan
guònián, saya sebagai seorang pribadi berhasil melewati seluruh tahun yang lampau. Apa pun kondisi saya selama satu tahun itu, sekarang saya di sini dan ikut bergembira lahir dan batin. Tentu saja dengan segala kekurangan saya menatap ke masa depan dan berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik.

Tetapi imlek bukan urusan pribadi saja yang membuat niat di dalam batin, melainkan juga suatu perayaan yang berdimensi sosial. Maka pada hari raya Imlek, orang-orang pergi
bàinián, yakni bersilahturami. Bài dalam kamus mempunyai beberapa arti: 1) memberi hormat, mentaati, membungkuk memberi hormat; 2) mengunjungi, kunjungan resmi, kunjungan kehormatan. Silahturami ini akan makin mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Barangkali dalam setahun karena terlalu disibukkan dengan urusan-urusan pribadi, yang tidak jarang membuat orang lain tersinggung, saatnyalah mendamaikan kembali kehidupan yang sempat terganggu.

Kedua dimensi kehidupan ini (pribadi dan sosial) menjadi jantung kehidupan masyarakat Tionghua. Tidak disangkal bahwa apa yang menjadi baik bagi pribadi, dan bila diterapkan dalam kehidupan sosial, akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Demikian pula apa yang tidak baik bagi pribadi, hendaknya tidak dilakukan, karena akan mengganggu tatanan sosial dan keseimbangan dalam masyarakat.


Menuju Inkulturasi Misa Imlek (Bagian I)

Naskah ini sudah dimuat dalam majalah LITURGI vol. 19 - 2008 disertai perubahan.
Perubahan dari naskah asli ditulis dalam warna biru.


MENUJU INKULTURASI MISA IMLEK

Agustinus Lie CDD


1. Pengantar

Sebelum Konsili Vatikan II, istilah inkulturasi belum dikenal dalam lingkup Gereja. Meskipun demikian, sejak awal kekristenan inkulturasi sudah dijalankan oleh Gereja. Kotbah Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus di Atena (Kis 17:22-33) merupakan salah satu usaha inkulturasi. Meskipun akhirnya dia ditertawakan dan ditolak karena mulai masuk ke dalam inti iman: kebangkitan orang mati. Namun usaha inkulturasi tidak berhenti di sini.

Dari lingkungan Yahudi, Gereja lambat laun bergeser masuk ke dalam lingkungan Greco-Romawi dan memakai kebudayaan ini seiring dengan ekspansi Kerajaan Romawi. Melalui usaha St. Sirilus dan Metodius, Gereja abad IX berkenalan dan masuk ke dalam budaya Slavia dengan meninggalkan gaya Greco-Romano. Sayangnya, sesudah itu gerakan Gereja yang dinamis seakan-akan menjadi agak kaku, teristimewa setelah Konsili Trente (1545-1563), karena pelbagai latar belakang, terutama yang mengancam kesatuan Gereja.

Penemuan daerah baru melalui penjelajahan di Amerika dan Asia membuka kesempatan baru bagi Gereja untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa di Amerika dan Asia. Secara khusus, pewartaan Injil di Asia mengalami pergulatan besar, karena para misionaris (yang berasal dari Eropa dengan kebudayaannya) harus berhadapan dengan bangsa yang sudah memiliki budaya, tradisi dan agamanya sendiri.

Benturan kebudayaan pun terjadi, baik di India (kontroversi ritus Siro-Malabar) pada abad XVIII, maupun di China (kontroversi ritus China) dari abad XVII-XVIII. Dalam ketegangan seperti ini, misi Gereja seakan-akan terhenti. Secara khusus di China, kontroversi ini malahan membuat Gereja ditolak kehadirannya oleh Kaisar Kangxi. Perbedaan persepsi tentang kebudayaan membuat Paus Klemens XI mengambil keputusan yang membuat Kaisar Kangxi sangat tersinggung yang akhirnya menolak kehadiran Gereja.

Kesalahpahaman terhadap tradisi maupun nilai-nilai kebudayaan China itu bukan saja terjadi pada jaman dahulu. Sampai sekarang pun kesalahpahaman itu tetap ada, bahkan dalam lingkup Gereja. Kerap kali kita mendengar kata-kata: “Saya sudah menerima Kristus, semua tradisi Tionghua tidak perlu lagi, atau sudah dibuang.” Barangkali orang yang mengatakannya mau menunjukkan bahwa bagi dia tidak lagi mengikuti tradisi, atau barangkali juga mau mengatakan bahwa orang tersebut sudah tidak mengerti lagi tradisi nenek moyangnya.


2. Perayaan Musim

Dalam masyarakat Tionghua, ada perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat dan perayaan keagamaan. Pesta rakyat biasanya dihubungkan dengan perayaan musim. Kedua perayaan ini kerap kali bersinggungan, atau sering diadakan dalam satu rangkaian kesatuan, sehingga kerap kali sulit dibedakan antara perayaan agama atau pesta musim/rakyat1. Beberapa perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat adalah: Chunjie (Tahun Baru Imlek), Yuanxiao Jie (Cap Go Me), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas), Tongzhi Jie (Pesta Ronde). Di dalam pesta-pesta ini, selain pesta musim, juga disertai dengan pesta atau peringatan peristiwa penting dalam sejarah. Sementara itu, peringatan-peringatan yang lebih bersifat keagamaan, dan sangat sedikit, seperti Zhongyuan yang biasanya dirayakan pada pertengahan bulan tujuh imlek untuk memberi makan arwah-arwah kelaparan, dan juga peringatan-peringatan kelahiran dewa.

Melihat sifatnya, perayaan Tahun Baru Imlek lebih merupakan pesta rakyat untuk menyambut musim semi baru. Tahun baru Imlek adalah hari raya tradisional orang Tionghua yang paling utama. Perayaan ini berlangsung selama lima belas hari, mulai dari hari pertama bulan imlek sampai dengan Festival Lampion yuánxiāojié (元宵节). Sepanjang dua pekan ini rumah-rumah dihiasi dengan pelbagai pernak pernik, dan orang-orang saling mengucapkan “selamat” satu sama lain, karena mereka dengan selamat telah melewati satu tahun yang baru lampau, saat untuk meninggalkan yang lama dan menyambut yang baru. Dua ungkapan yang senantiasa muncul untuk menyebutkan masa ini adalah guònián (过年) yang menyatakan bahwa tahun yang lama telah berlalu dan bàinián (拜年) untuk menyambut tahun yang baru.

Monday, January 12, 2009

Katolisitas dan Misi Evangelisasi

KATOLISITAS DAN MISI EVANGELISASI

Oleh: Fr. Pius Supardan CDD


1. Pengantar

Di abad XX dan awal abad XXI ini, kita menyaksikan perkembangan mengagumkan dalam sejarah kekristenan, khususnya Katolik. Ketika Yohanes XXIII mengaktualisasikan “bukalah jendela Gereja”, Roh Pembaharu pun masuk menyegarkan udara di dalam Gereja yang menumbuhkan kesadaran baru Gereja akan misteri dirinya di tengah-tengah dunia dan sentralitas penebusan Kristus sebagai dasar identitasnya. Pandangan terhadap budaya (dan agama) lain berkembang ke arah penghargaan yang positif. Semua ini muncul dari keyakinan bahwa Ecclesia reformata est semper reformanda.

Namun perubahan ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterima dan dijalankan. 43 tahun setelah KV II kita melihat ketegangan-ketegangan terjadi dalam tubuh Gereja sendiri. Barangkali memang benar bahwa “perubahan selalu menyakitkan”. Ketegangan itu terjadi karena di satu pihak Gereja ingin agar Pembaharuan Konsili Vatikan II sungguh-sungguh memberikan pencerahan dan kebaikan bagi Gereja dan Dunia. Dan untuk tujuan itu Gereja membuka diri untuk belajar dari budaya-budaya lain, menerima apa yang baik dari mereka demi memperkaya pemaknaan injil bagi Gereja dan dunia. Sebagai akibat langsung adalah munculnya urgensi untuk kontektualisasi.

Namun, di pihak lain ada resistensi terhadap hasil-hasil konsili dari mereka yang mencoba bertahan dengan pandangan lama. Secara positif kita melihat resistensi mereka disebabkan oleh pandangan bahwa apa yang telah dipegang Gereja selama ini sebagai ajaran-ajaran iman adalah benar dan mencukupi serta bersifat universal dan dapat diberlakukan untuk semua orang di setiap tempat dan jaman. Persoalannya terletak pada mencukupi-nya ini, yang ternyata jika kita pertimbangkan dengan seksama ternyata tidak cukup. Dengan semangat ecclesia reformata est semper reformanda, kita bisa berkata bahwa teologi tidak pernah boleh cukup.

Di samping itu, ditambah pula adanya pelaksanaan hasil-hasil konsili yang mereduksi inti iman pada suatu relativisme. Reduksionisme ini terjadi karena penafsiran hasil-hasil konsili itu ternyata belum tepat. Oleh mereka yang progresif, pembaharuan oleh Konsili Vatikan II dipandang sebagai angin segar untuk melakukan kreativitas-kreativitas di Gereja Lokal. Di sinilah mulai persoalannya. Karena terlalu progresif, segala macam usaha dicoba. Pemikiran-pemikiran teologis dan praktek-praktek “liturgis” serta devosional baru bermunculan, dan seringkali mengurangi makna terdalam dari “eksistensi” kekristenan, terutama tempat sentral Yesus Kristus dalam keseluruhan iman katolik. 1. Bandingkan rasa penyesalan yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II atas kreativitas yang tidak cocok dengan tradisi yang telah lama dihidupi Gereja dan terus menerus diajarkan oleh magisterium, Ecclesia de Eucharistia (EU), No. 52.

Paper singkat ini hanya merupakan sebuah refleksi iman atas usaha misi evangelisasi dan pilihan cara yang perlu.

2. Kebutuhan akan Kontekstualisasi

Kontekstualisasi sebenarnya bukan barang baru. Formulasi ajaran-ajaran iman yang sampai hari ini kita hidupi adalah hasil dari suatu kontekstualisasi atas pengalaman iman Gereja. Contoh-contoh besarnya adalah dengan diadakannya konsili-konsili yang dimulai dari Konsili Yerusalem sampai dengan Konsili Vatikan II. Rumusan-rumusan iman itu adalah hasil pergulatan para teolog menanggapi situasi jamannya. Namun setelah Katolik (Kristen) diterima sebagai “agama resmi” Eropa, kebutuhan akan kontektualisasi berkurang. Semua orang menghidupi budaya kekristenan yang sama, Kekristenan telah menjadi kebenaran universal, dan dipandang berlaku untuk semua orang di setiap tempat dan masa.

Ketika daerah-daerah baru ditemukan, Benua Amerika, Asia dan Afrika, rasa superior sebagai “pemilik” kebenaran masih tersimpan dalam mental para pewarta-misionaris. Budaya-budaya baru yang dijumpai harus “dibaptis” (sebagian besar dengan cara membuang unsur-unsur religius-mistis budaya itu karena dianggap “kafir”) agar orang-orangnya dapat memperoleh keselamatan. Sebagian besar tujuan para misionaris ini baik, yaitu agar semakin banyak orang dimungkinkan untuk memperoleh keselamatan, karena itu mereka harus dibaptis dan meninggalkan budaya “kafir” mereka. Penghargaan atas budaya lain mungkin belum menjadi suatu yang perlu saat itu.

Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam dan cabang-cabang ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti psikologi, antropologi dan sosiologi, cara pandang terhadap realitas, dunia dan manusia, ikut berubah. Perubahan itu telah membawa dampak yang positif terhadap penghargaan manusia sebagai subyek sejarah dan budaya sebagai world-view-nya yang menggerakkan tindakan manusia. Dari sini kebutuhan kontekstualisasi menjadi makin mendesak di daerah-daerah misi di Asia dan Afrika.

Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh Gereja bahkan sebelum konsili Vatikan II. Surat Apostolik Leo XIII “Ad Extremas (1893) dan Surat Apostolik Benediktus XV “Maximum Illud” (30 November 1919) dan Ensiklik tentang Misi Katolik dari Pius XI “Rerum Ecclesiae” (28 Februari 1926) adalah buktinya. Ketiga dokumen ini menekan hal yang sama, yaitu pentingnya klerus lokal, yang mengerti budaya lokal dan memahami iman kristiani, sebagai tulang punggung di tanah misi demi implatatio ecclesia. Di sinilah Gereja menyadari kemendesakan kontektualisasi dan inkulturasi sebagai sarana yang paling efektif untuk misi evangelisasi. Dan sebagai “puncak”nya adalah Konsili Vatikan II. Lebih dari sebelumnya, Gereja menyadari akan sumbangan yang berharga dari budaya-budaya manusia dalam upaya penyebaran Injil (bdk. GS. 58). Gereja juga mengakui dan menerima apa yang baik dan benar dalam budaya manusia, yang dapat menghantar umat manusia kepada kesempurnaan dalam “Budaya Kebenaran Injil” (bdk. LG. 16, NA. 3).

Dari sini pula Gereja menyadari gerakan Roh Kudus yang menuntun Gereja untuk menjalankan panggilannya di dunia, yaitu misi mewartakan injil kepada seluruh dunia, dan karena tujuan dari pewartaan ini adalah “penyatuan” seluruh umat manusia, pewartaan itu bersifat katolik (umum, universal). Misi dan katolisitas adalah dua hal yang tidak terpisahkan dari hakekat Gereja. Tetapi bagaimana katolisitas dan misi itu hendak dijalankan dalam konteks saat ini?

3. Refleksi

3.1. Katolisitas dan Amanat Agung “Membaptis”

3.1.1. Mewartakan Kristus

Betapapun mulianya panggilan Gereja, bukan berarti panggilan itu tidak membawa persoalan. Persoalan yang sering muncul dalam hal katolisitas dan misi saat ini adalah berkaitan dengan pluralitas budaya. 2. Dalam hal ini penulis memandang bahwa agama adalah suatu budaya (bagian dari suatu budaya) Dalam hal ini muncul kebingungan antara sentralitas keselamatan dalam Kristus (inti seluruh misi Gereja) dan pantulan sinar kebenaran dalam budaya lain. Kebingungan ini, lalu, membawa penafsiran yang keliru tentang peranan Yesus Kristus. Dan ini terjadi di tengah-tengah kita seperti diungkapkan beberapa umat di Jakarta terkait pernyataan seorang imam bahwa Kristus adalah “salah satu dari sekian banyak jalan menuju keselamatan.” Kekeliruan ini sangat fatal dan terlalu beresiko untuk penghayatan iman umat.

Seringkali dalam situasi ini yang disalahkan adalah ajaran konsili Vatikan II, yang sebenarnya ditafsirkan secara keliru berkaitan dengan “semua yang tidak mengenal Kristus dan Gereja dapat diselamatkan dan apa yang baik dan benar yang terdapat pada mereka dipandang Gereja sebagai persiapan Injil” (LG 16, bdk. NA 3). Jika kita simak, pernyatan ini sama sekali tidak menyatakan bahwa Inkarnasi Putra adalah salah satu dari sekian banyak wahyu ilahi. Memang Allah hadir dalam seluruh sejarah hidup manusia termasuk “menjiwai” budaya-budaya lain, tetapi Yesus Kristus adalah kepenuhan mutlak. Kristus adalah satu-satunya “Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan” (Yoh 14:6) dan kepenuhan definitif wahyu ilahi, dan tidak seorangpun diselamatkan jika tidak melalui-Nya (bdk. LG 1-8, DV 4, NA 3). Jika Kristus bukan lagi kepenuhan wahyu, sia-sialah iman kita, karena dari sanalah mengalir identitas sejati kekristenan kita.

Lalu di sini muncul kebutuhan baru bagaimana mewartakan Kristus yang tidak dikenal oleh umat dari budaya tertentu. Atau kalaupun Kristus telah diwartakan, Siapakah Dia bagi mereka itu. Pertanyaan Yesus kepada para murid dahulu sekarangpun ditanyakan kepada kita, “Apa katamu, siapakah aku ini?” (Mat 16:15) Petrus Menjawab: “Engkau adalah messiah Putra Allah yang hidup” (ay.16) dan Konsili Kalsedon menjawabnya: “Putra Tunggal Allah, satu hypostasis (prosōpon) dalam dua physeis, Allah dan manusia. Kristus yang kita “kenal” saat ini adalah Ia yang asing yang digambarkan dalam kategori-kategori yang dipinjam dari dunia budaya Semit dan filsafat Yunani-Eropa, yang secara fundamental berbeda rasa dengan budaya timur. Perbedaan rasa ini mengakibatkan ketidakmampuan kita pula untuk “merasakan” siapa Dia bagi kita. Pantaslah kemudian jika orang bertanya: “untuk menjadi seorang Kristen, perlukah seseorang menjadi semit secara spiritual atau seorang barat secara intelektual? 3. Raimundo Panikkar, The Jordan, The Tiber, and the Ganges: Three Kairological Moments of Christic Self –Consciousness, dalam John Hick dan Paul Knitter (ed.), The Myth of Christian Uniqueness: Towards a Pluralistic Theology of Religions, hlm. 89.

Karena itu, beberapa teolog mencoba menggambarkan Yesus Kristus dalam kategori pemikiran dan dikaitkan dengan kondisi kehidupan orang timur, yang mereka sebut sebagai “Kristologi Asia”. 4. Aloysius Pieris menggambarkan Yesus sebagai Rahib yang Miskin, Jung Young Lee menggambarkan Yesus sebagai Realisasi Sempurna dari Perubahan (dalam konsep Yin-Yang) dan Pribadi Marginal, Choan-Seng Song sebagai Rakyat yang Disalib, Chung Hyun Kyung (dari perspektif feminis Korea) sebagai Minjung di dalam Minjung; lih. Peter C. Phan, Jesus The Christ with an Asian Face, hlm. 407-425. Lee melontarkan kritiknya:

Sejauh teolog-teolog negara ketiga terus menvalidasikan karya mereka dengan kriteria-kriteria teologi Euro-Amerika, yang telah lama mendominasi ras dan etnis minoritas, mereka tidak akan mampu menghasilkan suatu teologi yang otentik dari perspektif mereka sendiri.5. Ibid., hlm. 415

Usaha-usaha kontekstualisasi harus dihargai dan dijalankan. Tetapi beberapa usaha itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak jatuh pada gambaran-gambaran yang justru mengaburkan nilai-nilai iman (bahkan beberapa kristologi Asia menampakkan sikap anti-semitis). Untuk itu, Robert J. Schreiter memberikan beberapa kriteria ortodoksi: 6. Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, hlm. 195-201.

  1. Adanya konsistensi internal. Ini nampak dalam usaha Gereja berteologi melawan ajaran-ajaran bidaah. Konsistensi internal dimaksudkan sebagai arah dasar yang benar dari teologi kontekstual, seperti pengakuan akan jati diri Yesus Kristus: sungguh Allah sungguh Manusia.
  2. Prinsip yang benar dari teologi kontekstual bisa diterjemahkan dalam olah kebaktian atau upacara liturgis. Contoh konsep Arianisme tidak bisa diterima karena doa-doa yang disampaikan kepada Kristus yang adalah Allah, bukan satu dari makhluk ciptaan.
  3. Teologi yang membuahkan “anggur asam” tidak bisa menjadi sebuah teologi kontekstual.
  4. Teologi kontekstual mesti terbuka pada dialog, dan kritik dari gereja-gereja lain, sehingga konsep-konsepnya juga berlaku universal bukan hanya “untuk kalangan sendiri”.
  5. Teologi kontekstual mesti mampu memberikan sumbangan positif melalui “kekuatan tantangan” yang membongkar teologi lainnya.

Nilai terpenting dari ortodoksi yang berkaitan dengan katolisitas adalah kontekstualisasi yang bersifat universal, merangkul semua orang. Kristologi apapun mesti sampai pada kesimpulan akhir bahwa Yesus adalah satu-satunya “Jalan, Kebenaran, dan Hidup”. Jika tidak sampai pada kesimpulan ini, maka iman kita hanya akan menjadi “untuk kalangan sendiri” dan peran penebusan Kristus hanya parsial, sehingga kita justru akan tiba pada kesimpulan: “Yesus hanya salah satu dari sekian banyak wahyu ilahi.”

3.1.2. Amanat Agung: “Jadikan Semua Bangsa Murid-Ku dan Baptislah

Ketika menyadari bahwa sentralitas Kristus adalah inti dari katolisitas kita dan dasar dari penebusan dan keselamatan semua manusia, panggilan yang menjadi kewajiban Gereja adalah agar semua orang mengenal dan mengimani Dia, dan masuk dalam persatuan yang penuh dengan-Nya dan akhirnya memperoleh keselamatan. Tanda Iman dan persatuan penuh itu terwujud dalam pembaptisan. Kewajiban itu datang dari pesan terakhir Yesus sendiri:

Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20)

Tetapi dalam konteks pluralitas, persatuan melalui pembaptisan adalah masalah yang cukup rumit. Kerumitan ini juga ditambah oleh beberapa penafsiran hermeneutis dan kritik historis yang menolak pesan ini sebagai Pesan Yesus. 7. Beberapa kelompok pendukung pluralisme agama memandang pesan terakhir ini bukan dari Yesus sendiri tetapi dari “proselitisme triumfalistis” jemaat perdana; lih. Martin Harun, “Amanat Agung” dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis, hln. 181. Lalu, apakah misi pembaptisan masih relevan, atau perlu untuk keselamatan?

Memang harus diakui bahwa misi ke dalam adalah penting dalam rangka pengembangan iman umat yang darinya kita harapkan agar mereka mampu memberikan kesaksian melalui cara hidup yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural. Menjadi garam dan terang adalah penting sebagai kesaksian hidup agar orang lain sampai pada sikap memuliakan Allah (Mat 5:13-16). Tetapi ini hanyalah “seolah-olah”; kita belum sungguh-sungguh menjalankan misi. Misi sesungguhnya bukanlah bagaimana kita memperluas institusi Gereja, tetapi bagaimana memperluas efek karya penebusan Kristus.

Penghargaan atas keragaman dan apa-yang-benar dalam budaya manusia, dan hak asasi manusia, termasuk hak memilih agama, tidak berarti menyisihkan misi membaptis. Tidak cukup bahwa hasil dari pewartaan kita adalah agar orang hidup baik secara manusiawi; tujuan akhir misi kita adalah orang hidup baik dalam dan karena Kristus. Pengakuan akan Kristus justru menjadi nyata dalam kesatuan penuh dengan-Nya dan Gereja melalui pembaptisan. Kegembiraan terbesar kita adalah ketika orang lain mengatakan, “…apakah halangannya jika aku dibaptis? Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh…”(Kis 8:36-37). Pembaptisan adalah gerbang menuju keselamatan (KGK 1257) dan mahkota dari iman. Selain itu pembaptisan adalah konsekuensi logis dari keyakinan kita akan keselamatan-hanya-dalam-Kristus. Namun demikian Gereja mengajarkan agar “kristensisasi” dijalankan tetap secara wajar.

“Gereja melarang keras, jangan sampai ada orang yang dipaksa atau dengan siasat yang tidak pada tempatnya dibujuk atau dipikat untuk memeluk iman. Begitu pula Gereja teguh membela hak manusia untuk tidak dijauhkan dari gangguan-gangguan yang melanggar keadilan” (AG art. 13)

3.2. MLM: Multi Level Mission

Katolisitas menuntut dari kita kesiapan untuk misi mewartakan Kristus dan mengembangkan umat. Kondisi “pastoral” kita saat ini menuntut keterbukaan untuk kerjasama kaum awam dalam pelayanan pastoral. Pastor-sentris sudah bukan jamannya, apalagi mengingat kurangnya tenaga imam sehingga kerjasama menjadi lebih mendesak lagi. Tetapi siapa yang mesti ikut dalam kerjasama itu? Sebanyak mungkin umat mesti dilibatkan. Tetapi di sini, kami mengusulkan yang mesti diberi peran besar adalah orang-orang muda. 8. Di sini orang muda tidak dirinci secara detil. Pembatasannya hanya pada usia SMP (± 13 tahun) – Mahasiswa (± 25 tahun).

Mengapa orang muda? Kaum muda menjadi pilihan karena hidup mereka yang lebih dinamis, penuh kreativitas dan ada semangat yang mengebu-gebu. Kaum muda mesti diberikan dukungan dan kepercayaan sebesar-besarnya, sebab merekalah pemeran utama misi Gereja (bukan penonton pasif atau “tukang parkir” gereja). Kepercayaan dan pendampingan adalah bukti penghargaan dan pengakuan Gereja atas semangat dan keberadaan kaum muda. Gereja katolik sendiri sudah memiliki kelompok-kelompok organis seperti itu. Sekarang tinggal bagaimana mewujudkan misi secara efektif. 9. Ada cukup banyak organisasi kaum muda yang potensial dalam Gereja Katolik, seperti Remaka, Mudika (OMK), KKMK, PMKRI, dan lain-lain.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah sifat mereka yang “resist” terhadap apa-apa yang formal, menuntut ke-resmi-an yang kaku. Karena itu misi oleh kaum muda ini dapat dijalankan dengan Multi Level Mission. ML Mission diambil dari metode pengembangan Multi Level Marketing atau Pemasaran Berjenjang. Pemasaran berjenjang adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung, dimana ada level yang disebut upline dan downline.10. Upline (promotor) biasanya adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan downline (bawahan) adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. ada beberapa sistem tertentu yang memberlakukan jenjang keanggotaan yang berbeda sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian produk. Komisi yang diberikan dalam MLM dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan. Karena, keuntungan promotor dipengaruhi juga oleh keaktifan belanja downline, biasanya, promoter akan terus membantu mengembangkan dan memotivasi downline dengan datang sendiri mengunjungi mereka. secara diagramatis digambarkan demikian:

A adalah upline dari B (downline), dan B menjadi Upline C (downline yang direkrut oleh B). Untuk perekrutan “C”, “A” sudah tidak terlalu berperan sehingga ia bisa fokus pada downline baru jika ada.

Yang membedakan ML Mission dari pemasaran berjenjang adalah tujuannya yang tidak tearah pada keuntungan-keuntungan ekonomis-material, tetapi pada “keuntungan” rohani (religius-spiritual) dan sosial. Dalam ML Mission seorang pastor adalah upline dan orang muda adalah downline, sementara “produk yang dijual” adalah hal-hal “Kebenaran Injil”. 11. Kebenaran Injil digunakan di sini mencakup setiap aspek kehidupan. Baik spiritual, sosial, budaya, maupun politik. Dengan tekanan utama ada pada nilai spiritual. Misalnya dari satu orang membagikan pengalaman hidupnya sebagai orang katolik kepada 3 orang lain; yang stu lagi kepada tiga orang lainnya. Maka, dalam waktu yang singkat dan tenaga yang sedikit akan ada lebih banyak orang mengenal Kristus dan injil, meski belum sampai pada mengimani.

Dalam satu kelompok Pastor mendampingi level “B” secara intensif dan mendalam. Setelah itu, “B” lah yang kemudian berperan dalam pendampingan level “C”. Dalam hal ini bukan berarti pastor lepas tangan terhadap level lain, ia tetap memiliki kewajiban untuk mendampingi dan memotivasi, hanya saja perannya sudah berkurang karena dibantu oleh level “B” sehingga bisa memberi perhatian pada tugas lain. “Yang satu diperhatikan, tetapi yang lain tidak dilalaikan”.

Metode seperti ini sudah dipraktekkan oleh pihak denominasi Pentakosta (Karismatik) dalam cara pengembangan misi Gereja melalui orang muda dengan kelompok sel. Ciri dan kekuatan kelompok ini digambarkan sebagai berikut:

“... the small group movement ... is very much orientated towards life, more exactly, the life of the soul. For these are intimate, egalitarian groups which provide an opportunity for participants to discover what it means to become more fully human and more deeply in tune with their own spirituality and with God. Quiet literally, the groups provide an opportunity for participants to share their journey through life by discussing interpersonal relationships, emotions, matters to do with self identity or personal morality.” 12. Robert Wuthnow, Sharing the Journey. Support Groups and America's New Quest for Community, hlm. 367-368.

Dalam kelompok kecil ini mereka lebih mudah mengolah hidup religius, sosial dan relasional antara mereka dan kemudian setiap orang membagikan pula pengalaman rohani mereka kepada kaum muda lain baik katolik maupun, terutama, non-katolik. Salah satu kelebihan metode ini adalah gerakan yang tidak terbatas. Kelompok orang muda ini tidak bergerak di kalangan Gereja saja tetapi terutama dalam hidup sehari-hari di sekolah/kampus dan dalam pergaulan yang umum serta tidak dibatasi waktu. Tetapi kelompok seperti ini rentan menjadi kelompok yang eksklusif, karena itu perlu ada “pengawasan”.

Disamping itu, kita bisa memanfatkan semangat “bersaing” orang muda. Pada umumnya ketika mereka melihat ada kelompok orang muda yang aktif dan berkembang, kelompok lain termotivasi untuk “menyaingi” mereka, sekurang-kurangnya mencontoh keberhasilan mereka. 13. Persoalan lain, yang tidak bisa diselesaikan di sini, adalah berapa banyak pastor yang sungguh berminat dan “ahli” dalam pendampingan kaum muda. Mungkin cara lain bisa ditempuh, yaitu kerjasama dengan awam lain yang lebih berkompeten. Sehingga level “B” bukan orang muda tetapi awam dewasa.

3.3. Menghayati Iman dalam Kemiskinan dan Penderitaan

Konsekuensi lain dari misi dan katolisitas kita mengena dan peka terhadap konteks. Salah satu fakta real yang menjadi konteks negara-negara ketiga, termasuk Indonesia adalah kemiskinan, penderitaan dan kelaparan. Fakta ini terlalu gamblang dan mencolok mata. Setiap hari ada di depan mata kita. Apalagi dengan “mengecilnya” dunia akibat teknologi informasi, kita tidak punya alasan lagi untuk mengatakan, “maaf kami tidak tahu ada situasi kemiskinan seperti itu”. Beberapa dari fakta itu, meskipun sebagian besar adalah hasil dari ketidakadilan, tetapi ternyata ada beberapa budaya “menormalkan” kemiskinan dan penderitaan.

Mengapa perhatian harus diberikan pada mereka yang miskin. Secara spiritual kita akan mengatakan apapun yang kita lakukan untuk mereka, itu kita lakukan untuk Kristus (bdk. Mat 25:40) Tetapi lebih dari itu mengapa harus mereka yang dipilih. Kemiskinan telah membuat seseorang tidak bisa hidup secara manusiawi. Mereka terlalu rapuh berhadapan dengan dunia yang keras. Dengan menjadi miskin, segala sesuatu tidak bisa mereka miliki, bahkan apapun yang ada pada mereka akan diambil. Kesehatan, pendidikan, pangan bahkan penghayatan hidup keagamaanpun tidak mampu mereka miliki dengan baik. Sehingga pilihan kepada mereka adalah karena mereka sendiri tidak akan pernah mampu mengatasi masalah itu. Apa lagi dengan adanya sistem terstruktur yang tidak adil yang praktis tidak akan memihak mereka.

Situasi lain yang menuntut perhatian lebih dari kita adalah situasi “membiasanya penderitaan” (Normality of Suffering). 14. Bdk. Michael Taylor, Dilarang Melarat, hlm. 28. Hidup kita tidak luput dari penderitaan. Tetapi penderitaan itu tidak penah menetap lama dalam hidup kita. Kadang-kadang mendung menutupi sisi terang langit hidup kita. Ketika mendung itu berlalu kitapun bisa mengakui kemahakuasaan Tuhan. Tetapi bagi sebagian manusia lain, termasuk di Indonesia, kemiskinan dan penderitaan telah menjadi bagian yang tak terelakkan. Kondisi penderitaan terlalu biasa bagi mereka. Kondisi ini jauh lebih berbahaya daripada kemiskinan struktural karena ketidakadilan. Ciri pokok kondisi ini adalah bahwa penderitaan dan kemiskinan

“sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang mengerikan , oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya rasa senang atau kepuasan.”

Sebagai contoh kita melihat pengalaman masyarakat di Nusa Tenggara Timur dan sebagian Kalimantan. Pada masa cocok tanam mereka pergi ke ladang dan kebun-kebun untuk menanam bahan-bahan pokok seperti jagung, padi, dengan harapan panen akan baik. Saat panen tiba, fokus utama mereka adalah mempersiapkan pesta panen, dan seringkali bukan pesta yang sedehana dan murah. Tiba masa paceklik mereka hanya menikmati sisa-sisa yang ada, itupun kadang-kdang hanya cukup untuk satu bulan. Di NTT, diperparah lagi dengan sistem ijon, sehingga setelah panen tak ada apapun yang tersisa bagi keluarga. Lalu, untuk hidup selanjutnya berhutang, dengan perjanjian hasil panen berikutnya langsung diserahkan. Sekarang kita bertanya apa yang dilakukan Gereja di sana terhadap masyarakatnya? Ternyata, kisah-kisah mengagumkan Tuhan Yesus belum mampu mengubah cara hidup mereka. Iman belum memiliki dampak transformatif.

Seringkali usaha yang dilakukan Gereja untuk orang-orang yang kelaparan dan miskin adalah dalam rupa aksi-aksi sosial yang kabur dengan memberi sumbangan dan bantuan pangan. Padahal dua dampak yang mungkin terjadi dari aksi ini adalah pelecehan terhadap mereka yang menderita dan usaha-usaha mereka untuk memperbaiki kondisi hidup, karena bantuan itu justru membuat mereka semakin tergantung pada bantuan orang lain. Kedua pemberian bantuan telah mengaburkan proses ketidakadilan yang terjadi, ketidakadilan seolah-olah diterima sebagai biasa.

Persoalan berkaitan dengan karya karitatif-sosial tidak hanya ada pada pemahaman yang keliru. Dalam prosesnya Gereja sering harus berhadapan dengan kecurigaan dari kelompok agama lain. Ini nampak aneh karena usaha religius-kemanusiaan mestinya tidak perlu dicurigai. Sebagai orang Katolik, setiap pelayanan kita harus pula disertai identitas kekristenan. Kita tidak perlu alergi menunjukkan kekristenannya ketika terjun dalam karya-karya sosial karitatif dan humanis, mendampingi orang miskin. Identitas itulah yang membedakan kita dengan aktivis sosial-humanis lainnya. Barangkali kecurigaan itu bisa diatasi dengan motivasi yang benar. Cara yang dijalankan oleh Rm Mangunwijaya dan suster-suster Puteri Kasih dapat menjadi contoh yang baik. Seluruh hidup dan karya mereka diresapi oleh identitas katolik mereka. Karya mereka muncul dari kekatolikan mereka tetapi mereka tidak dicurigai mengkristenkan orang lain. Motivasi yang yang ada pada mereka adalah Kasih Kristus, Caritas Christi Urget Nos (2 Kor 5:14). Itulah yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Kasih Kristuslah, bukan orang Kristen atau megachurch yang harus nampak dalam karya-karya itu. Harus diakui bahwa dengan meninggalkan identitas katolik, kita akan kehilangan prinsip dalam misi kita; karya kita hanya sebuah karya sosial kemanusiaan, tidak sampai pada nilai spiritualitas-religius.

4. PENUTUP

Pengalaman iman kita dari kodratnya tidak membiarkan kita berdiam dan mengurung diri. Umat Manusia membutuhkan pegangan hidup dan kebenaran, sementara kita memilikinya, yaitu Kristus. Kegembiraan atas Penebusan yang kita peroleh melalui Kristus menuntut kita membagikannya pula dengan setiap orang. Sehingga setiap orang mengenal Kristus. Iman selalu berarti misi.

Tetapi Kristus seperti apa yang akan diwartakan dan bagaimana mewartakan-Nya akan memberi pengaruh besar pada orang lain untuk sampai pada pengenalan yang otentik tentang Dia. Karena itu, siapa yang menjadi tujuan pewartaan, itulah yang harus dipahami terlebih dahulu, sehingga pewartaan tentang Kristus dapat mengena untuk hidup mereka. Kontektualisasi dalam misi dan evangelisasi adalah sebuah kemendesakan. Kontektualisasi adalah hakikat dari identitas katolisitas kita, bukan aspek sampingan. Dan lebih dari itu kontekstualisasi adalah suatu bentuk lain dari keadilan yang bisa kita berikan kepada umat manusia. Sudah saatnya kita menghadirkan Kristus sebab setiap orang rindu menemukan kebenaran, yang adalah Yesus Kristus sendiri (Yoh 12:21, bdk. NMI 16).


DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja

Ad Gentes, Dekrit tentang kegiatan Misioner Gereja

Dei Verbum, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi

Katekismus Gereja Katolik.

Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja.

Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani.

Novo Millennio Ineunte, Surat Apostolik Yohanes Paulus II, tanggal 6 Januari 2001.

Ecclesia de Eucharistia, Ensiklik Yohanes Paulus II, 17 April 2003

Buku/Artikel

C. Phan, Peter, Jesus The Christ with an Asian Face, Theological Studies Vol 57. No. 3, Sept 1996.

Harun, Martin, “Amanat Agung” dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis, dalam Diskursus (Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara), Vol 5, No.2, Oktober 2006.

Magnis-Suseno, Franz, Beriman dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Panikkar, Raimundo, The Jordan, The Tiber, and the Ganges: Three Kairological Moments of Christic Self –Consciousness, dalam John Hick dan Paul Knitter (ed.), The Myth of Christian Uniqueness: Towards a Pluralistic Theology of Religions, New York: Orbis, 1987.

Sasmita, Mungki A., Tantangan Eksternal dan Peluang bagi Suatu Pembangunan Jemaat, http://pendeta-gki.berteologi.net, didownload tanggal 18 september 2008.

Schreiter, Robert J., Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Taylor, Michael, Dilarang Melarat, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Wuthnow, Robert, Sharing the Journey. Support Groups and America's New Quest for Community, Chicago: University of Chicago Press, 1994