3. Simbol dan Rahmat Allah dalam Misa Imlek
Tentunya perayaan suatu masyarakat muncul dari penghayatan akan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai perayaan itu kemudian disakralkan dengan upacara keagamaan, agar masyarakat yang merayakannya tidak hanya jatuh pada pesta pora kegembiraan, tetapi mempersiapkan manusia yang merayakannya dalam lingkup yang lebih rohani. Di sinilah rakyat atau masyarakat diikat dalam kesatuan suci yang membentuk mereka menjadi umat kudus (2 Bdk. The New Dictionary of Catholic Spirituality, The Liturgical Press, Collegeville, Minesota, 1993, hlm. 243). Hal yang sama terjadi dengan perayaan tahun baru Imlek. Apalagi perayaan ini adalah perayaan tahun baru menurut penanggalan imlek, maka mereka yang merayakannya merasa perlu memasuki tahun yang baru dalam keadaan penuh berkat.
a. Suatu Ketegangan Baru
Boleh tidaknya merayakan imlek kerap kali menjadi dilema bagi umat kristiani Tionghua. Mereka dihadapkan pada pilihan antara tetap merayakan Tahun Baru Imlek ataukah meninggalkannya karena sudah menerima pada Kristus. Kedua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Orang tidak perlu dipaksa untuk memihak yang satu dan menolak yang lain. Yang lebih utama adalah apakah tradisi itu bisa semakin memantapkan imannya pada Kristus. Di sini Gereja dapat menjadi jembatan penghubung yang ampuh melalui pemahaman yang tepat akan tradisi ini.
Pertanyaan dari sebagian umat “mana lebih utama, iman atau adat?” akan membawa kita kepada persepsi yang salah, dan “memaksa” kita harus berpihak: iman atau adat. Padahal tidak semua perayaan dalam tradisi itu jelek dan bertentangan dengan iman. Bagaimana mungkin pewartaan Injil akan berjalan dengan baik bila belum apa-apa justru sudah menghakimi suatu tradisi tanpa mempelajari dan mengerti tradisi tersebut? Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan mengadakan Misa Imlek umat semakin dekat pada Kristus sendiri, ataukah sebaliknya.
Perayaan Tahun Baru Imlek dalam kehidupan menggereja tidak perlu sampai menimbulkan ketegangan baru. Secara sekilas Tahun Baru Imlek memiliki kemiripan dengan praktek paskah Yahudi, meskipun konteks dan teologinya sangat berbeda. Namun hal itulah yang menggelitik untuk dilihat secara bersamaan, ditambah lagi Buku Misa yang mendapat imprimatur dari Komisi Liturgi Konferensi Uskup Taiwan (4 Bdk. juga TPE Bahasa Mandarin-Indonesia dengan suplemen Misa Tahun Baru Imlek, Dioma, 2007) memakai kutipan perjamuan Paskah bangsa Yahudi sebagai bacaan pertamanya. Di sana ditemukan unsur-unsur yang sama, misalnya ada yang lewat/berlalu, ada makan bersama dalam keluarga, warna merah (darah) di depan rumah, dan lain-lain.
Barangkali di sinilah letak inkulturasi Gereja di Taiwan untuk membawa orang lebih mengimani Kristus. Kebanyakan proses atau upaya inkuluturasi di Indonesia berhenti hanya pada hal-hal lahiriah, dengan penggunaan simbol-simbol tradisional, namun tidak menyentuh esensi dan masuk ke dalam nilai-nilainya sendiri. Lebih menyedihkan lagi kalau inkulturasi dijalankan hanya bertujuan demi inkulturasi itu sendiri.
Maka bila Gereja Indonesia hendak merayakan Imlek, beberapa aspek ini hendaklah menjadi pertimbangan, agar jangan sampai para petugas pastoral jatuh pada semacam eforia perayaan Imlek yang datar dan sekadar di permukaan saja.
i. Lewat/berlalu
Ungkapan yang biasa diucapkan dalam merayakan Imlek adalah guònián (过年), yang artinya adalah nián lewat. Nián dalam bahasa Mandarin adalah tahun. Karena itu pada hari pertama imlek, orang-orang mengatakan bahwa nián telah lewat, tahun yang lama sudah berlalu. Inilah ungkapan kegembiraan bahwa manusia sudah melewati satu tahun perjalanan hidupnya, baik dalam “kegembiraan, kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan” (5 TPE Bahasa Mandarin-Indonesia, Dioma, 2007, hlm 109), dan saatnyalah memulai hidup yang baru dengan semangat yang baru. Yang sudah berlalu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk menapak ke masa depan yang lebih baik.
Kita bisa melihat sedikit gambaran pada perayaan Paskah dalam tradisi Yahudi. Pada malam sebelum Paskah mereka semua bersiap-siap menantikan Allah melewati tanah Mesir (bdk. Kel 12:12) untuk membebaskan mereka dari perbudakan, dan membawa mereka menuju ke Tanah Terjanji, ke masa depan yang lebih baik.
Meskipun keduanya berbeda, tidak disangkal bahwa ada konteks melewati yang memberi harapan kepada manusia. Sambil menunggu dan berjaga-jaga orang diajak untuk mengarahkan diri kepada sesuatu di masa depan.
Sewaktu bangsa Israel merayakan perjamuan paskah, ketika mereka masih diperbudak di tanah Mesir, terjadilah perubahan ini: Tuhan akan berjalan dari tengah-tengah Mesir, dan mendatangkan bencana bagi mereka dengan membunuh anak-anak sulung mereka (bdk. Kel 11:4-5; 11:12). Sementara itu bangsa Israel berjaga-jaga (bdk. Kel 11:42) menantikan pembebasan. Bagi Israel, mereka menyebut bahwa Allah melawat umat-Nya, membawa mereka melewati malam yang tegang menuju kepada hari yang lebih baik keesokan harinya.
Sementara itu, kebiasaan orang Tionghua jaman dahulu, pada malam Imlek orang tua berjaga-jaga menemani anak-anak yang tidur, agar mereka tidak mendapat bencana. Kalau bisa anak-anak juga tidak boleh tidur. Sebab mereka menantikan nián yang membawa bencana guòqù (berlalu/lewat).
ii. Makan
Pada malam hari sebelum Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul di rumah orang tua untuk makan bersama. Kiranya pada waktu makan di sana terciptalah suasana yang hangat dan saling berbagi. Dengan menikmati makanan yang sama dari meja yang sama pula, dengan berbagi, seperti perjamuan paskah Yahudi, di mana bila satu keluarga tidak dapat menghabiskan seekor domba, dia dapat mengajak tetangganya (bdk. Kel 12:4), semua perbedaan antar anggota keluarga menjadi lebur. Mereka yang mungkin pernah tidak saling menyapa dan bermusuhan kini membina kembali hubungan keluarga yang indah ini di depan orang tua.
Alangkah indahnya kalau makanan jasmani yang dinikmati di malam sebelum Tahun Baru Imlek diarahkan pada makanan yang tidak dapat binasa dalam Ekaristi pada keesokan harinya. Pada saat di mana saudara-saudara yang belum percaya kepada Kristus, namun pagi-pagi sudah bersembahyang di klenteng-klenteng memohonkan berkat, Gereja juga mengajak putra-putrinya untuk bertemu dengan Kristus dan bersatu dengan-Nya melalui santapan roti para malaikat, yang menguatkan jiwa dan jaminan hidup abadi (bdk. Yoh 6:1-59).
iii. Warna Merah
Bangsa Yahudi memakai darah anak domba untuk memberi tanda di depan rumah mereka sebagai tanda, agar Tuhan melewati rumah mereka dan tidak mendatangkan bencana (bdk. Kel 11:13). Darah menjadi tanda keselamatan bagi umat Israel, darah juga yang menjadi meterai perjanjian Allah dan umat-Nya di gunung Sinai (bdk. Kel 24:8)
Warna merah ternyata juga menjadi tanda untuk orang Tionghua. Bahkan dapat dikatakan bahwa warna merah menjadi warna kesukaan orang Tionghua, karena menampakkan kegembiraan, dan dipercaya dapat menolak bala atau bencana. Orang menikah, pesta ulang tahun, dan semua yang bersifat pesta kegembiraan selalu didominasi dengan warna merah. Selain memang sebagai tanda kegembiraan, juga merupakan semacam lambang perlindungan dari yang jahat. Yang paling mencolok adalah pemberian amplop kecil berisi uang yang disebut hóngbāo atau angpao.
Biasanya mereka yang sudah berkeluarga (orang tua) yang memberikan hóngbāo kepada mereka yang belum menikah (anak-anak) sebagai tanda berkat dan bekal kepada orang muda untuk memasuki tahun yang baru. Alangkah indahnya bagi orang Kristen agar tidak hanya memberikan uang dalam hóngbāo kepada anak-anak, melainkan mengisinya dengan ayat-ayat Kitab Suci sebagai bekal bagi mereka memasuki Tahun Baru Imlek.
Hóngbāo, yang karena warnanya merah darah, juga bisa mengingatkan orang akan darah berharga Yesus Kristus yang dicurahkan di salib. Tidak lagi dalam sikap orang yang tidak mengenal Kristus, melainkan bila disertai dengan ayat-ayat Kitab Suci, menyegarkan kembali iman akan ikatan istimewa yang telah dibuat Kristus, yaitu penebusan dengan darah-Nya yang mulia dan berharga.
No comments:
Post a Comment