Syalom!

Blog ini berupaya menyajikan jurnal studi Filsafat dan Teologi
para mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana - Malang.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini adalah pendapat penulis sendiri, bukan cerminan pendapat pengelola blog. Tulisan-tulisan ini adalah hasil perenungan dan kerja keras para mahasiswa, dan tidak mengandaikan isinya adalah ajaran resmi Gereja Katolik.

Monday, January 12, 2009

Katolisitas dan Misi Evangelisasi

KATOLISITAS DAN MISI EVANGELISASI

Oleh: Fr. Pius Supardan CDD


1. Pengantar

Di abad XX dan awal abad XXI ini, kita menyaksikan perkembangan mengagumkan dalam sejarah kekristenan, khususnya Katolik. Ketika Yohanes XXIII mengaktualisasikan “bukalah jendela Gereja”, Roh Pembaharu pun masuk menyegarkan udara di dalam Gereja yang menumbuhkan kesadaran baru Gereja akan misteri dirinya di tengah-tengah dunia dan sentralitas penebusan Kristus sebagai dasar identitasnya. Pandangan terhadap budaya (dan agama) lain berkembang ke arah penghargaan yang positif. Semua ini muncul dari keyakinan bahwa Ecclesia reformata est semper reformanda.

Namun perubahan ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterima dan dijalankan. 43 tahun setelah KV II kita melihat ketegangan-ketegangan terjadi dalam tubuh Gereja sendiri. Barangkali memang benar bahwa “perubahan selalu menyakitkan”. Ketegangan itu terjadi karena di satu pihak Gereja ingin agar Pembaharuan Konsili Vatikan II sungguh-sungguh memberikan pencerahan dan kebaikan bagi Gereja dan Dunia. Dan untuk tujuan itu Gereja membuka diri untuk belajar dari budaya-budaya lain, menerima apa yang baik dari mereka demi memperkaya pemaknaan injil bagi Gereja dan dunia. Sebagai akibat langsung adalah munculnya urgensi untuk kontektualisasi.

Namun, di pihak lain ada resistensi terhadap hasil-hasil konsili dari mereka yang mencoba bertahan dengan pandangan lama. Secara positif kita melihat resistensi mereka disebabkan oleh pandangan bahwa apa yang telah dipegang Gereja selama ini sebagai ajaran-ajaran iman adalah benar dan mencukupi serta bersifat universal dan dapat diberlakukan untuk semua orang di setiap tempat dan jaman. Persoalannya terletak pada mencukupi-nya ini, yang ternyata jika kita pertimbangkan dengan seksama ternyata tidak cukup. Dengan semangat ecclesia reformata est semper reformanda, kita bisa berkata bahwa teologi tidak pernah boleh cukup.

Di samping itu, ditambah pula adanya pelaksanaan hasil-hasil konsili yang mereduksi inti iman pada suatu relativisme. Reduksionisme ini terjadi karena penafsiran hasil-hasil konsili itu ternyata belum tepat. Oleh mereka yang progresif, pembaharuan oleh Konsili Vatikan II dipandang sebagai angin segar untuk melakukan kreativitas-kreativitas di Gereja Lokal. Di sinilah mulai persoalannya. Karena terlalu progresif, segala macam usaha dicoba. Pemikiran-pemikiran teologis dan praktek-praktek “liturgis” serta devosional baru bermunculan, dan seringkali mengurangi makna terdalam dari “eksistensi” kekristenan, terutama tempat sentral Yesus Kristus dalam keseluruhan iman katolik. 1. Bandingkan rasa penyesalan yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II atas kreativitas yang tidak cocok dengan tradisi yang telah lama dihidupi Gereja dan terus menerus diajarkan oleh magisterium, Ecclesia de Eucharistia (EU), No. 52.

Paper singkat ini hanya merupakan sebuah refleksi iman atas usaha misi evangelisasi dan pilihan cara yang perlu.

2. Kebutuhan akan Kontekstualisasi

Kontekstualisasi sebenarnya bukan barang baru. Formulasi ajaran-ajaran iman yang sampai hari ini kita hidupi adalah hasil dari suatu kontekstualisasi atas pengalaman iman Gereja. Contoh-contoh besarnya adalah dengan diadakannya konsili-konsili yang dimulai dari Konsili Yerusalem sampai dengan Konsili Vatikan II. Rumusan-rumusan iman itu adalah hasil pergulatan para teolog menanggapi situasi jamannya. Namun setelah Katolik (Kristen) diterima sebagai “agama resmi” Eropa, kebutuhan akan kontektualisasi berkurang. Semua orang menghidupi budaya kekristenan yang sama, Kekristenan telah menjadi kebenaran universal, dan dipandang berlaku untuk semua orang di setiap tempat dan masa.

Ketika daerah-daerah baru ditemukan, Benua Amerika, Asia dan Afrika, rasa superior sebagai “pemilik” kebenaran masih tersimpan dalam mental para pewarta-misionaris. Budaya-budaya baru yang dijumpai harus “dibaptis” (sebagian besar dengan cara membuang unsur-unsur religius-mistis budaya itu karena dianggap “kafir”) agar orang-orangnya dapat memperoleh keselamatan. Sebagian besar tujuan para misionaris ini baik, yaitu agar semakin banyak orang dimungkinkan untuk memperoleh keselamatan, karena itu mereka harus dibaptis dan meninggalkan budaya “kafir” mereka. Penghargaan atas budaya lain mungkin belum menjadi suatu yang perlu saat itu.

Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam dan cabang-cabang ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti psikologi, antropologi dan sosiologi, cara pandang terhadap realitas, dunia dan manusia, ikut berubah. Perubahan itu telah membawa dampak yang positif terhadap penghargaan manusia sebagai subyek sejarah dan budaya sebagai world-view-nya yang menggerakkan tindakan manusia. Dari sini kebutuhan kontekstualisasi menjadi makin mendesak di daerah-daerah misi di Asia dan Afrika.

Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh Gereja bahkan sebelum konsili Vatikan II. Surat Apostolik Leo XIII “Ad Extremas (1893) dan Surat Apostolik Benediktus XV “Maximum Illud” (30 November 1919) dan Ensiklik tentang Misi Katolik dari Pius XI “Rerum Ecclesiae” (28 Februari 1926) adalah buktinya. Ketiga dokumen ini menekan hal yang sama, yaitu pentingnya klerus lokal, yang mengerti budaya lokal dan memahami iman kristiani, sebagai tulang punggung di tanah misi demi implatatio ecclesia. Di sinilah Gereja menyadari kemendesakan kontektualisasi dan inkulturasi sebagai sarana yang paling efektif untuk misi evangelisasi. Dan sebagai “puncak”nya adalah Konsili Vatikan II. Lebih dari sebelumnya, Gereja menyadari akan sumbangan yang berharga dari budaya-budaya manusia dalam upaya penyebaran Injil (bdk. GS. 58). Gereja juga mengakui dan menerima apa yang baik dan benar dalam budaya manusia, yang dapat menghantar umat manusia kepada kesempurnaan dalam “Budaya Kebenaran Injil” (bdk. LG. 16, NA. 3).

Dari sini pula Gereja menyadari gerakan Roh Kudus yang menuntun Gereja untuk menjalankan panggilannya di dunia, yaitu misi mewartakan injil kepada seluruh dunia, dan karena tujuan dari pewartaan ini adalah “penyatuan” seluruh umat manusia, pewartaan itu bersifat katolik (umum, universal). Misi dan katolisitas adalah dua hal yang tidak terpisahkan dari hakekat Gereja. Tetapi bagaimana katolisitas dan misi itu hendak dijalankan dalam konteks saat ini?

3. Refleksi

3.1. Katolisitas dan Amanat Agung “Membaptis”

3.1.1. Mewartakan Kristus

Betapapun mulianya panggilan Gereja, bukan berarti panggilan itu tidak membawa persoalan. Persoalan yang sering muncul dalam hal katolisitas dan misi saat ini adalah berkaitan dengan pluralitas budaya. 2. Dalam hal ini penulis memandang bahwa agama adalah suatu budaya (bagian dari suatu budaya) Dalam hal ini muncul kebingungan antara sentralitas keselamatan dalam Kristus (inti seluruh misi Gereja) dan pantulan sinar kebenaran dalam budaya lain. Kebingungan ini, lalu, membawa penafsiran yang keliru tentang peranan Yesus Kristus. Dan ini terjadi di tengah-tengah kita seperti diungkapkan beberapa umat di Jakarta terkait pernyataan seorang imam bahwa Kristus adalah “salah satu dari sekian banyak jalan menuju keselamatan.” Kekeliruan ini sangat fatal dan terlalu beresiko untuk penghayatan iman umat.

Seringkali dalam situasi ini yang disalahkan adalah ajaran konsili Vatikan II, yang sebenarnya ditafsirkan secara keliru berkaitan dengan “semua yang tidak mengenal Kristus dan Gereja dapat diselamatkan dan apa yang baik dan benar yang terdapat pada mereka dipandang Gereja sebagai persiapan Injil” (LG 16, bdk. NA 3). Jika kita simak, pernyatan ini sama sekali tidak menyatakan bahwa Inkarnasi Putra adalah salah satu dari sekian banyak wahyu ilahi. Memang Allah hadir dalam seluruh sejarah hidup manusia termasuk “menjiwai” budaya-budaya lain, tetapi Yesus Kristus adalah kepenuhan mutlak. Kristus adalah satu-satunya “Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan” (Yoh 14:6) dan kepenuhan definitif wahyu ilahi, dan tidak seorangpun diselamatkan jika tidak melalui-Nya (bdk. LG 1-8, DV 4, NA 3). Jika Kristus bukan lagi kepenuhan wahyu, sia-sialah iman kita, karena dari sanalah mengalir identitas sejati kekristenan kita.

Lalu di sini muncul kebutuhan baru bagaimana mewartakan Kristus yang tidak dikenal oleh umat dari budaya tertentu. Atau kalaupun Kristus telah diwartakan, Siapakah Dia bagi mereka itu. Pertanyaan Yesus kepada para murid dahulu sekarangpun ditanyakan kepada kita, “Apa katamu, siapakah aku ini?” (Mat 16:15) Petrus Menjawab: “Engkau adalah messiah Putra Allah yang hidup” (ay.16) dan Konsili Kalsedon menjawabnya: “Putra Tunggal Allah, satu hypostasis (prosōpon) dalam dua physeis, Allah dan manusia. Kristus yang kita “kenal” saat ini adalah Ia yang asing yang digambarkan dalam kategori-kategori yang dipinjam dari dunia budaya Semit dan filsafat Yunani-Eropa, yang secara fundamental berbeda rasa dengan budaya timur. Perbedaan rasa ini mengakibatkan ketidakmampuan kita pula untuk “merasakan” siapa Dia bagi kita. Pantaslah kemudian jika orang bertanya: “untuk menjadi seorang Kristen, perlukah seseorang menjadi semit secara spiritual atau seorang barat secara intelektual? 3. Raimundo Panikkar, The Jordan, The Tiber, and the Ganges: Three Kairological Moments of Christic Self –Consciousness, dalam John Hick dan Paul Knitter (ed.), The Myth of Christian Uniqueness: Towards a Pluralistic Theology of Religions, hlm. 89.

Karena itu, beberapa teolog mencoba menggambarkan Yesus Kristus dalam kategori pemikiran dan dikaitkan dengan kondisi kehidupan orang timur, yang mereka sebut sebagai “Kristologi Asia”. 4. Aloysius Pieris menggambarkan Yesus sebagai Rahib yang Miskin, Jung Young Lee menggambarkan Yesus sebagai Realisasi Sempurna dari Perubahan (dalam konsep Yin-Yang) dan Pribadi Marginal, Choan-Seng Song sebagai Rakyat yang Disalib, Chung Hyun Kyung (dari perspektif feminis Korea) sebagai Minjung di dalam Minjung; lih. Peter C. Phan, Jesus The Christ with an Asian Face, hlm. 407-425. Lee melontarkan kritiknya:

Sejauh teolog-teolog negara ketiga terus menvalidasikan karya mereka dengan kriteria-kriteria teologi Euro-Amerika, yang telah lama mendominasi ras dan etnis minoritas, mereka tidak akan mampu menghasilkan suatu teologi yang otentik dari perspektif mereka sendiri.5. Ibid., hlm. 415

Usaha-usaha kontekstualisasi harus dihargai dan dijalankan. Tetapi beberapa usaha itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak jatuh pada gambaran-gambaran yang justru mengaburkan nilai-nilai iman (bahkan beberapa kristologi Asia menampakkan sikap anti-semitis). Untuk itu, Robert J. Schreiter memberikan beberapa kriteria ortodoksi: 6. Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, hlm. 195-201.

  1. Adanya konsistensi internal. Ini nampak dalam usaha Gereja berteologi melawan ajaran-ajaran bidaah. Konsistensi internal dimaksudkan sebagai arah dasar yang benar dari teologi kontekstual, seperti pengakuan akan jati diri Yesus Kristus: sungguh Allah sungguh Manusia.
  2. Prinsip yang benar dari teologi kontekstual bisa diterjemahkan dalam olah kebaktian atau upacara liturgis. Contoh konsep Arianisme tidak bisa diterima karena doa-doa yang disampaikan kepada Kristus yang adalah Allah, bukan satu dari makhluk ciptaan.
  3. Teologi yang membuahkan “anggur asam” tidak bisa menjadi sebuah teologi kontekstual.
  4. Teologi kontekstual mesti terbuka pada dialog, dan kritik dari gereja-gereja lain, sehingga konsep-konsepnya juga berlaku universal bukan hanya “untuk kalangan sendiri”.
  5. Teologi kontekstual mesti mampu memberikan sumbangan positif melalui “kekuatan tantangan” yang membongkar teologi lainnya.

Nilai terpenting dari ortodoksi yang berkaitan dengan katolisitas adalah kontekstualisasi yang bersifat universal, merangkul semua orang. Kristologi apapun mesti sampai pada kesimpulan akhir bahwa Yesus adalah satu-satunya “Jalan, Kebenaran, dan Hidup”. Jika tidak sampai pada kesimpulan ini, maka iman kita hanya akan menjadi “untuk kalangan sendiri” dan peran penebusan Kristus hanya parsial, sehingga kita justru akan tiba pada kesimpulan: “Yesus hanya salah satu dari sekian banyak wahyu ilahi.”

3.1.2. Amanat Agung: “Jadikan Semua Bangsa Murid-Ku dan Baptislah

Ketika menyadari bahwa sentralitas Kristus adalah inti dari katolisitas kita dan dasar dari penebusan dan keselamatan semua manusia, panggilan yang menjadi kewajiban Gereja adalah agar semua orang mengenal dan mengimani Dia, dan masuk dalam persatuan yang penuh dengan-Nya dan akhirnya memperoleh keselamatan. Tanda Iman dan persatuan penuh itu terwujud dalam pembaptisan. Kewajiban itu datang dari pesan terakhir Yesus sendiri:

Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20)

Tetapi dalam konteks pluralitas, persatuan melalui pembaptisan adalah masalah yang cukup rumit. Kerumitan ini juga ditambah oleh beberapa penafsiran hermeneutis dan kritik historis yang menolak pesan ini sebagai Pesan Yesus. 7. Beberapa kelompok pendukung pluralisme agama memandang pesan terakhir ini bukan dari Yesus sendiri tetapi dari “proselitisme triumfalistis” jemaat perdana; lih. Martin Harun, “Amanat Agung” dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis, hln. 181. Lalu, apakah misi pembaptisan masih relevan, atau perlu untuk keselamatan?

Memang harus diakui bahwa misi ke dalam adalah penting dalam rangka pengembangan iman umat yang darinya kita harapkan agar mereka mampu memberikan kesaksian melalui cara hidup yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural. Menjadi garam dan terang adalah penting sebagai kesaksian hidup agar orang lain sampai pada sikap memuliakan Allah (Mat 5:13-16). Tetapi ini hanyalah “seolah-olah”; kita belum sungguh-sungguh menjalankan misi. Misi sesungguhnya bukanlah bagaimana kita memperluas institusi Gereja, tetapi bagaimana memperluas efek karya penebusan Kristus.

Penghargaan atas keragaman dan apa-yang-benar dalam budaya manusia, dan hak asasi manusia, termasuk hak memilih agama, tidak berarti menyisihkan misi membaptis. Tidak cukup bahwa hasil dari pewartaan kita adalah agar orang hidup baik secara manusiawi; tujuan akhir misi kita adalah orang hidup baik dalam dan karena Kristus. Pengakuan akan Kristus justru menjadi nyata dalam kesatuan penuh dengan-Nya dan Gereja melalui pembaptisan. Kegembiraan terbesar kita adalah ketika orang lain mengatakan, “…apakah halangannya jika aku dibaptis? Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh…”(Kis 8:36-37). Pembaptisan adalah gerbang menuju keselamatan (KGK 1257) dan mahkota dari iman. Selain itu pembaptisan adalah konsekuensi logis dari keyakinan kita akan keselamatan-hanya-dalam-Kristus. Namun demikian Gereja mengajarkan agar “kristensisasi” dijalankan tetap secara wajar.

“Gereja melarang keras, jangan sampai ada orang yang dipaksa atau dengan siasat yang tidak pada tempatnya dibujuk atau dipikat untuk memeluk iman. Begitu pula Gereja teguh membela hak manusia untuk tidak dijauhkan dari gangguan-gangguan yang melanggar keadilan” (AG art. 13)

3.2. MLM: Multi Level Mission

Katolisitas menuntut dari kita kesiapan untuk misi mewartakan Kristus dan mengembangkan umat. Kondisi “pastoral” kita saat ini menuntut keterbukaan untuk kerjasama kaum awam dalam pelayanan pastoral. Pastor-sentris sudah bukan jamannya, apalagi mengingat kurangnya tenaga imam sehingga kerjasama menjadi lebih mendesak lagi. Tetapi siapa yang mesti ikut dalam kerjasama itu? Sebanyak mungkin umat mesti dilibatkan. Tetapi di sini, kami mengusulkan yang mesti diberi peran besar adalah orang-orang muda. 8. Di sini orang muda tidak dirinci secara detil. Pembatasannya hanya pada usia SMP (± 13 tahun) – Mahasiswa (± 25 tahun).

Mengapa orang muda? Kaum muda menjadi pilihan karena hidup mereka yang lebih dinamis, penuh kreativitas dan ada semangat yang mengebu-gebu. Kaum muda mesti diberikan dukungan dan kepercayaan sebesar-besarnya, sebab merekalah pemeran utama misi Gereja (bukan penonton pasif atau “tukang parkir” gereja). Kepercayaan dan pendampingan adalah bukti penghargaan dan pengakuan Gereja atas semangat dan keberadaan kaum muda. Gereja katolik sendiri sudah memiliki kelompok-kelompok organis seperti itu. Sekarang tinggal bagaimana mewujudkan misi secara efektif. 9. Ada cukup banyak organisasi kaum muda yang potensial dalam Gereja Katolik, seperti Remaka, Mudika (OMK), KKMK, PMKRI, dan lain-lain.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah sifat mereka yang “resist” terhadap apa-apa yang formal, menuntut ke-resmi-an yang kaku. Karena itu misi oleh kaum muda ini dapat dijalankan dengan Multi Level Mission. ML Mission diambil dari metode pengembangan Multi Level Marketing atau Pemasaran Berjenjang. Pemasaran berjenjang adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung, dimana ada level yang disebut upline dan downline.10. Upline (promotor) biasanya adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan downline (bawahan) adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. ada beberapa sistem tertentu yang memberlakukan jenjang keanggotaan yang berbeda sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian produk. Komisi yang diberikan dalam MLM dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan. Karena, keuntungan promotor dipengaruhi juga oleh keaktifan belanja downline, biasanya, promoter akan terus membantu mengembangkan dan memotivasi downline dengan datang sendiri mengunjungi mereka. secara diagramatis digambarkan demikian:

A adalah upline dari B (downline), dan B menjadi Upline C (downline yang direkrut oleh B). Untuk perekrutan “C”, “A” sudah tidak terlalu berperan sehingga ia bisa fokus pada downline baru jika ada.

Yang membedakan ML Mission dari pemasaran berjenjang adalah tujuannya yang tidak tearah pada keuntungan-keuntungan ekonomis-material, tetapi pada “keuntungan” rohani (religius-spiritual) dan sosial. Dalam ML Mission seorang pastor adalah upline dan orang muda adalah downline, sementara “produk yang dijual” adalah hal-hal “Kebenaran Injil”. 11. Kebenaran Injil digunakan di sini mencakup setiap aspek kehidupan. Baik spiritual, sosial, budaya, maupun politik. Dengan tekanan utama ada pada nilai spiritual. Misalnya dari satu orang membagikan pengalaman hidupnya sebagai orang katolik kepada 3 orang lain; yang stu lagi kepada tiga orang lainnya. Maka, dalam waktu yang singkat dan tenaga yang sedikit akan ada lebih banyak orang mengenal Kristus dan injil, meski belum sampai pada mengimani.

Dalam satu kelompok Pastor mendampingi level “B” secara intensif dan mendalam. Setelah itu, “B” lah yang kemudian berperan dalam pendampingan level “C”. Dalam hal ini bukan berarti pastor lepas tangan terhadap level lain, ia tetap memiliki kewajiban untuk mendampingi dan memotivasi, hanya saja perannya sudah berkurang karena dibantu oleh level “B” sehingga bisa memberi perhatian pada tugas lain. “Yang satu diperhatikan, tetapi yang lain tidak dilalaikan”.

Metode seperti ini sudah dipraktekkan oleh pihak denominasi Pentakosta (Karismatik) dalam cara pengembangan misi Gereja melalui orang muda dengan kelompok sel. Ciri dan kekuatan kelompok ini digambarkan sebagai berikut:

“... the small group movement ... is very much orientated towards life, more exactly, the life of the soul. For these are intimate, egalitarian groups which provide an opportunity for participants to discover what it means to become more fully human and more deeply in tune with their own spirituality and with God. Quiet literally, the groups provide an opportunity for participants to share their journey through life by discussing interpersonal relationships, emotions, matters to do with self identity or personal morality.” 12. Robert Wuthnow, Sharing the Journey. Support Groups and America's New Quest for Community, hlm. 367-368.

Dalam kelompok kecil ini mereka lebih mudah mengolah hidup religius, sosial dan relasional antara mereka dan kemudian setiap orang membagikan pula pengalaman rohani mereka kepada kaum muda lain baik katolik maupun, terutama, non-katolik. Salah satu kelebihan metode ini adalah gerakan yang tidak terbatas. Kelompok orang muda ini tidak bergerak di kalangan Gereja saja tetapi terutama dalam hidup sehari-hari di sekolah/kampus dan dalam pergaulan yang umum serta tidak dibatasi waktu. Tetapi kelompok seperti ini rentan menjadi kelompok yang eksklusif, karena itu perlu ada “pengawasan”.

Disamping itu, kita bisa memanfatkan semangat “bersaing” orang muda. Pada umumnya ketika mereka melihat ada kelompok orang muda yang aktif dan berkembang, kelompok lain termotivasi untuk “menyaingi” mereka, sekurang-kurangnya mencontoh keberhasilan mereka. 13. Persoalan lain, yang tidak bisa diselesaikan di sini, adalah berapa banyak pastor yang sungguh berminat dan “ahli” dalam pendampingan kaum muda. Mungkin cara lain bisa ditempuh, yaitu kerjasama dengan awam lain yang lebih berkompeten. Sehingga level “B” bukan orang muda tetapi awam dewasa.

3.3. Menghayati Iman dalam Kemiskinan dan Penderitaan

Konsekuensi lain dari misi dan katolisitas kita mengena dan peka terhadap konteks. Salah satu fakta real yang menjadi konteks negara-negara ketiga, termasuk Indonesia adalah kemiskinan, penderitaan dan kelaparan. Fakta ini terlalu gamblang dan mencolok mata. Setiap hari ada di depan mata kita. Apalagi dengan “mengecilnya” dunia akibat teknologi informasi, kita tidak punya alasan lagi untuk mengatakan, “maaf kami tidak tahu ada situasi kemiskinan seperti itu”. Beberapa dari fakta itu, meskipun sebagian besar adalah hasil dari ketidakadilan, tetapi ternyata ada beberapa budaya “menormalkan” kemiskinan dan penderitaan.

Mengapa perhatian harus diberikan pada mereka yang miskin. Secara spiritual kita akan mengatakan apapun yang kita lakukan untuk mereka, itu kita lakukan untuk Kristus (bdk. Mat 25:40) Tetapi lebih dari itu mengapa harus mereka yang dipilih. Kemiskinan telah membuat seseorang tidak bisa hidup secara manusiawi. Mereka terlalu rapuh berhadapan dengan dunia yang keras. Dengan menjadi miskin, segala sesuatu tidak bisa mereka miliki, bahkan apapun yang ada pada mereka akan diambil. Kesehatan, pendidikan, pangan bahkan penghayatan hidup keagamaanpun tidak mampu mereka miliki dengan baik. Sehingga pilihan kepada mereka adalah karena mereka sendiri tidak akan pernah mampu mengatasi masalah itu. Apa lagi dengan adanya sistem terstruktur yang tidak adil yang praktis tidak akan memihak mereka.

Situasi lain yang menuntut perhatian lebih dari kita adalah situasi “membiasanya penderitaan” (Normality of Suffering). 14. Bdk. Michael Taylor, Dilarang Melarat, hlm. 28. Hidup kita tidak luput dari penderitaan. Tetapi penderitaan itu tidak penah menetap lama dalam hidup kita. Kadang-kadang mendung menutupi sisi terang langit hidup kita. Ketika mendung itu berlalu kitapun bisa mengakui kemahakuasaan Tuhan. Tetapi bagi sebagian manusia lain, termasuk di Indonesia, kemiskinan dan penderitaan telah menjadi bagian yang tak terelakkan. Kondisi penderitaan terlalu biasa bagi mereka. Kondisi ini jauh lebih berbahaya daripada kemiskinan struktural karena ketidakadilan. Ciri pokok kondisi ini adalah bahwa penderitaan dan kemiskinan

“sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang mengerikan , oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya rasa senang atau kepuasan.”

Sebagai contoh kita melihat pengalaman masyarakat di Nusa Tenggara Timur dan sebagian Kalimantan. Pada masa cocok tanam mereka pergi ke ladang dan kebun-kebun untuk menanam bahan-bahan pokok seperti jagung, padi, dengan harapan panen akan baik. Saat panen tiba, fokus utama mereka adalah mempersiapkan pesta panen, dan seringkali bukan pesta yang sedehana dan murah. Tiba masa paceklik mereka hanya menikmati sisa-sisa yang ada, itupun kadang-kdang hanya cukup untuk satu bulan. Di NTT, diperparah lagi dengan sistem ijon, sehingga setelah panen tak ada apapun yang tersisa bagi keluarga. Lalu, untuk hidup selanjutnya berhutang, dengan perjanjian hasil panen berikutnya langsung diserahkan. Sekarang kita bertanya apa yang dilakukan Gereja di sana terhadap masyarakatnya? Ternyata, kisah-kisah mengagumkan Tuhan Yesus belum mampu mengubah cara hidup mereka. Iman belum memiliki dampak transformatif.

Seringkali usaha yang dilakukan Gereja untuk orang-orang yang kelaparan dan miskin adalah dalam rupa aksi-aksi sosial yang kabur dengan memberi sumbangan dan bantuan pangan. Padahal dua dampak yang mungkin terjadi dari aksi ini adalah pelecehan terhadap mereka yang menderita dan usaha-usaha mereka untuk memperbaiki kondisi hidup, karena bantuan itu justru membuat mereka semakin tergantung pada bantuan orang lain. Kedua pemberian bantuan telah mengaburkan proses ketidakadilan yang terjadi, ketidakadilan seolah-olah diterima sebagai biasa.

Persoalan berkaitan dengan karya karitatif-sosial tidak hanya ada pada pemahaman yang keliru. Dalam prosesnya Gereja sering harus berhadapan dengan kecurigaan dari kelompok agama lain. Ini nampak aneh karena usaha religius-kemanusiaan mestinya tidak perlu dicurigai. Sebagai orang Katolik, setiap pelayanan kita harus pula disertai identitas kekristenan. Kita tidak perlu alergi menunjukkan kekristenannya ketika terjun dalam karya-karya sosial karitatif dan humanis, mendampingi orang miskin. Identitas itulah yang membedakan kita dengan aktivis sosial-humanis lainnya. Barangkali kecurigaan itu bisa diatasi dengan motivasi yang benar. Cara yang dijalankan oleh Rm Mangunwijaya dan suster-suster Puteri Kasih dapat menjadi contoh yang baik. Seluruh hidup dan karya mereka diresapi oleh identitas katolik mereka. Karya mereka muncul dari kekatolikan mereka tetapi mereka tidak dicurigai mengkristenkan orang lain. Motivasi yang yang ada pada mereka adalah Kasih Kristus, Caritas Christi Urget Nos (2 Kor 5:14). Itulah yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Kasih Kristuslah, bukan orang Kristen atau megachurch yang harus nampak dalam karya-karya itu. Harus diakui bahwa dengan meninggalkan identitas katolik, kita akan kehilangan prinsip dalam misi kita; karya kita hanya sebuah karya sosial kemanusiaan, tidak sampai pada nilai spiritualitas-religius.

4. PENUTUP

Pengalaman iman kita dari kodratnya tidak membiarkan kita berdiam dan mengurung diri. Umat Manusia membutuhkan pegangan hidup dan kebenaran, sementara kita memilikinya, yaitu Kristus. Kegembiraan atas Penebusan yang kita peroleh melalui Kristus menuntut kita membagikannya pula dengan setiap orang. Sehingga setiap orang mengenal Kristus. Iman selalu berarti misi.

Tetapi Kristus seperti apa yang akan diwartakan dan bagaimana mewartakan-Nya akan memberi pengaruh besar pada orang lain untuk sampai pada pengenalan yang otentik tentang Dia. Karena itu, siapa yang menjadi tujuan pewartaan, itulah yang harus dipahami terlebih dahulu, sehingga pewartaan tentang Kristus dapat mengena untuk hidup mereka. Kontektualisasi dalam misi dan evangelisasi adalah sebuah kemendesakan. Kontektualisasi adalah hakikat dari identitas katolisitas kita, bukan aspek sampingan. Dan lebih dari itu kontekstualisasi adalah suatu bentuk lain dari keadilan yang bisa kita berikan kepada umat manusia. Sudah saatnya kita menghadirkan Kristus sebab setiap orang rindu menemukan kebenaran, yang adalah Yesus Kristus sendiri (Yoh 12:21, bdk. NMI 16).


DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja

Ad Gentes, Dekrit tentang kegiatan Misioner Gereja

Dei Verbum, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi

Katekismus Gereja Katolik.

Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja.

Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani.

Novo Millennio Ineunte, Surat Apostolik Yohanes Paulus II, tanggal 6 Januari 2001.

Ecclesia de Eucharistia, Ensiklik Yohanes Paulus II, 17 April 2003

Buku/Artikel

C. Phan, Peter, Jesus The Christ with an Asian Face, Theological Studies Vol 57. No. 3, Sept 1996.

Harun, Martin, “Amanat Agung” dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis, dalam Diskursus (Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara), Vol 5, No.2, Oktober 2006.

Magnis-Suseno, Franz, Beriman dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Panikkar, Raimundo, The Jordan, The Tiber, and the Ganges: Three Kairological Moments of Christic Self –Consciousness, dalam John Hick dan Paul Knitter (ed.), The Myth of Christian Uniqueness: Towards a Pluralistic Theology of Religions, New York: Orbis, 1987.

Sasmita, Mungki A., Tantangan Eksternal dan Peluang bagi Suatu Pembangunan Jemaat, http://pendeta-gki.berteologi.net, didownload tanggal 18 september 2008.

Schreiter, Robert J., Rancang Bangun Teologi Lokal, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Taylor, Michael, Dilarang Melarat, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Wuthnow, Robert, Sharing the Journey. Support Groups and America's New Quest for Community, Chicago: University of Chicago Press, 1994

No comments:

Post a Comment